"Kamu ini kenapa? Latihan nggak pernah serius."
Sebelum istirahat pada latihan hari ini Andi memulai dengan memarahi beberapa anak didiknya yang terlihat tidak serius dalam latihan. Kali ini Windy yang jadi objek sasaran kemarahannya. "Waktu tinggal sedikit, kalian harus latihan dengan serius."
"Siap, maaf Kak!" Windy menunduk tak berani menatap mata Andi. Dia menghela nafas kasar lalu kembali pada barisan setelah diperintahkan.
"Lusa, saya beri tahu apa saja yang harus kalian persiapkan untuk di bawa." Semuanya mengangguk paham. Dalam perlombaan ini mereka harus menginap sesuai peraturan dari salah satu sekolah yang mengadakan lomba. Sekolah itu masih di kota yang sama dengan tempat tinggal mereka, tidak jauh juga tempat mereka bersekolah.
Pembina Pramuka itu masih memberi pengarahan kepada anggotanya agar latihan dengan serius karena memang waktu mereka tidak sampai seminggu lagi. Hanya menghitung hari mereka akan berangkat menuju SMA Flowerstia. Raina yang baris di belakang Windy mendengar pengarahan Kak Andi dengan serius, ini lomba Pramuka pertama untuknya di sekolah ini setelah lima bulan mengikuti ekskul tersebut. Ia menekankan pada dirinya harus menang dan membawa piala kebanggaan untuk sekolah ini.
"Siap, paham Kak!" seru semua anggota Pramuka lalu bubar setelah Andi perintahkan.
"Windy, Raina tunggu di tempat," kata Andi berjalan mendekat ke arah mereka. "Kalian tolong Ambilkan berkas-berkas saya di meja pos kemudian antar ke sekretariat," perintah pembina pramuka itu menunjuk ke arah pos yang ada di pinngir lapangan.
"Siap, baik kak!" Keduanya menjawab dan setelahnya berjalan ke arah pos.
Windy berjalan cepat meninggalkan Raina, dia sengaja menghindar agar tak ada pembicaraan diantara keduanya. Namun perempuan itu berusaha menyusul. Windy tak peduli meskipun Raina meminta agar berjalan dengan sedikit lambat.
Perempuan dengan rambut sebahu itu sudah pergi ke sekretariat setelah mengambil kertas di pos. Raina mengambil sisanya kemudian menatap nanar sosok yang barusan melangkah. Windy pasti marah, tapi dia tidak tau salahnya apa. Raina berjalan cepat setelah hampir sampai pada ruang sekretariat Pramuka, dan sampai setelah Windy baru saja meletakkan berkas itu pada meja Kak Ari.
Raina menutup pintu ruangan itu hingga menimbulkan suara, dan membuat Windy terkejut. "Lo apa-apaan!" bentak Windy.
"Lo kenapa, sih, Wind?" tanya Raina. Perempuan itu berdiri di dekat pintu masih dengan memegang berkas milik pembina pramukanya.
Windy menatapnya nanar, di mata terlihat jelas kesedihan.
"Gue tau lo ngehindar dari gue. Kalo lo emang mau terus menghindar dari gue nggak papa, gue nggak pernah maksa buat kita terus dekat walaupun sebenarnya gue ingin," Jedanya, ia merasakan tenggorokannya sedikit tersekat.
"Tapi," lanjutnya kemudian. "Gue tau ada kesalahan gue yang buat lo kayak gini, gue nggak bisa sadar segala kesalahan gue, gue butuh orang lain buat menyadarkan gue akan hal itu."
"Wind ... bisa kita bicarain ini, 'kan? Bukannya seharusnya kita saling menyadarkan akan kesalahan satu sama lain?"
Windy masih berdiri tak bersuara, dia diam dengan tatapan yang sulit di pahami Raina.
"Wind," panggil Raina sekali lagi, dia bergerak mendekati Windy. Namun lagi-lagi sahabatnya itu menatapnya tanpa ekspresi.
"Gue nggak papa," katanya dengan penekanan setiap kata.
"Bohong!" serkah Raina.
"Emang! Terus lo mau apa?" Seperti ini memang sikap Windy, akan timbul keegoisannya jika sudah tidak suka dengan seseorang. "Nggak usah sok peduli sama gue!" Dia berjalan melewati Raina dan keluar dari ruangan itu tanpa perduli dengan sahabatnya yang kini menahan air mata. Namun lagi-lagi Raina berusaha berfikir positif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Wind and Mine (SUDAH TERBIT)
Teen FictionCerita ini tentang hujan, angin dan apa yang tidak bisa lagi dimiliki. Bagi Windy menjadi salah satu anak broken home adalah hal yang tidak pernah ia duga, seakan hidupnya lenyap seketika. Suatu hari, Windy menyadari bahwa takdir memang sekejam itu...