Ditutup dengan air muka tenang pun, tetap saja sakit itu ada dengan hati yang merasakannya.
****
Mungkin, orang akan bertanya ada apa dengan nasib gadis itu. Setelah beberapa bulan lalu dirinya ditinggal pergi menjelang hari pernikahan. Tiga minggu belakangan ini kembali diliputi rasa was-was. Risya, gadis itu kembalis merasakan kehilangan. Lantas, apa saat ini gadis itu harus mengikuti kata orang, yang bertanya ada apa dengan nasibnya? Ataukah dia tetap sebagai dirinya yang terlihat tenang tanpa berat akan takdirnya? Ah, memikirkan itu membuatnya ingin tidur saja.
Jika orang banyak bertanya, ada apa dengan nasibnya? Dan memandangnya penuh prihatin. Lain halnya dengan para sahabatnya, yang justru terlihat begitu senang, bahkan meminta padanya untuk menuliskan saja kisah hidupnya menjadi karya sastra. Aneh 'kan? Begitulah para sahabat Risya sulit ditebak apa maunya.
Dibanding meratapi dan bertanya pada Tuhan mengenai garis tangan Tuhan untuknya, Risya lebih memilih menikmati hidupnya santai. Sama seperti yang dikatakannya pada Dave tempo hari, sebelum orang itu pergi.
Kabar terakhir yang didengar Risya, Dave tengah perjalanan untuk perkembangan perusahaan milik ayahnya. Namun, sangat masuk akal untuk Risya berpikir was-was akan terulangnya kejadian itu untuk kali kedua. Iya, gadis itu tahu kalau Dave sedang kerja. Tapi, sangat berbanding dengan ucapan Dave sendiri kala itu. Dave mengatakan, pekerjaannya hanya butuh waktu tiga hari. Dan hari ini sudah tepat tiga minggu Dave pergi, dan belum juga kembali. Ponselnya yang tidak dapat dihubungi membuat Risya was-was.
Was-was. Meski begitu, Risya masih terlihat santai dan baik-baik saja. Rasa tenang masih mendominasi di atas rasa was-was itu. Kembali saat egonya ingin mendengar ucapan orang-orang. Namun, ditekannya kuat egonya itu dan lebih memilih menyerahkan keputusan terbaik pada Tuhan. Seperti yang dilakukannya dulu, saat Raffa meninggalkannya.
Kejadian yang sudah tujuh puluh lima persen peluangnya, untuk terulang kedua kalinya. Dan keputusan yang dipilih Risya pun masih sama. Dengan gadis itu memilih menyerahkan keputusan terbaik pada sang pemilik hati. Nah, itu menarik pandangan prihatin dari sahabatnya.
“Kejadian lalu sudah berpeluang besar terulang, dan kamu menyikapinya dengan sama lagi? Risya, jangan membuka peluang luka hatimu kembali menganga.”
Itu yang terus dikatakan sahabatnya, Aya, dengan sahabat lainnya yang mengangguk setuju.
Risya tetap di zona tenangnya, malah menjawab, “Sekarang beda, karena aku tidak merasakan sakit itu lagi. Kadang seperti akan ngilu, tapi langsung kutekan menjauh sampai akhirnya berlalu.”
Jawabannya itu mampu membuat para sahabatnya semakin prihatin. Tapi, mereka pun berpikir, apa sebab perbuatan Raffa sahabatnya itu sudah bisa mengendalikan hatinya? Omong kosong! Siapa pun yang menemani Risya saat sendiri, sudah pasti akan melihat binar kehilangan di mata itu. Dan akan sangat ditahu bahwa Risya menahan rasa sakitnya dalam, sampai yang terlihat hanya ketenangan, yang berhasil menutupi sakit yang terasa di hati gadis cantik nan manis itu.
Kata Abinya, lima hari ke depan mereka akan berlibur untuk mendapatkan suasana rileks. Tapi, kenapa ada yang sedikit aneh? Abinya mengatakan, mereka sekeluarga hanya akan menikmati liburan di hotel termahal yang ada di kota ini, menikmati liburan di hotel yang sangat nampak matahari terbit dan terbenam. Spot kesukaan Risya. Bukan masalah, selama Risya bisa puas melihat dengan jelas terbitnya mentari, maka gadis itu akan mengikut saja.
Menyukai detik-detik matanya melihat mentari terbit, seperti yang saat ini tengah dilakukannya. Begitu serius memandang ke depan, tanpa sadar air matanya menetes. Begitu banyak nikmat yang Tuhan berikan, termasuk masih diberinya kesempatan menikmati sinar mentari pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Rasa (END)✔️
EspiritualUpdate tiap senin, rabu, jumat, sabtu! Baca yuk! Kali aja bisa jadi temanmu mengarungi kisah cinta yang abu-abu, sebab belum pahamnya dirimu dengan cinta atas dasar cintamu pada-Nya, Sang Pemilik Cinta. Bukankah romantis jika rasa itu dinamai Cinta...