Bab 1.

17 2 2
                                    

Jikalau Kau Cinta
----------------------------

Bagaimana bila janda bertemu perjaka, dan saling mencintai?
-----------

Bag 1.

Ditinggal suami dengan seorang balita? Berat. Belum masalah finansial, belum status sosial di masyarakat. Belum lagi peran ganda yang harus di mainkan. Rindu itu berat? Bah, cemen kau Dilan. Belum kau rasakan jadi emak- emak rempong, harus cari duit, cari kerja, cari anak kalau belum pulang main. Belum lagi kalau misal kau lupa di mana menaruh dompetmu sementara anak menjerit tak sabar ketika tukang es potong parkir di pinggir jalan.

***

Ara menyepak kerikil di jalan dengan ujung sandal bututnya. Di sampingnya Adiba asyik menjilati es potong rasa coklat. Pipi dan dagunya belepotan.

"Enak?" Ara mengelap sisa coklat itu dengan ujung jarinya.

"Enak, Bunda. Besok mau lagi. Lebih banyak." Tanpa dosa Adiba menggigit besar- besar esnya. Tak peduli pada paras sang ibu yang masih kecut. Abis tadi kerempongan nyari duit yang tinggal selembar doang. Sampai kasur jeleknya ikutan jungkir balik di kamar.

"Ya udah. Berdoa aja yang rajin, supaya Sabtu jualan Bunda laris di pasar. Biar bisa banyak beli es potongnya."

Adiba mengangguk- angguk. Selebihnya dia asyik mengulum es. Sementara Ara duduk lesehan di pinggir jalan. Malas pulang ke rumah yang berjarak seratus meter dari sana.

Kebutuhan makin hari makin meningkat. Jualan gorengan sekali seminggu tak bisa diandalkan, apalagi banyak saingan. Kerja serabutannya kadang ada kadang tidak. Kadang membantu panen bawang, atau cabe. Atau membersihkan urat bawang merah. Ara beneran galau kali ini.

Harga- harga pada meroket. Biasanya telur tiga lima ribu sekarang cuma dapat dua biji. Lumayan bikin emak masygul kan? Es potong barusan aja kayaknya berkurang sesenti deh dari yang biasanya.

Ara memutar otak. Apalagi yang harus dilakukan supaya dapur tetap berasap dan anak bisa jajan. Belakangan harga bawang turun drastis sehingga masyarakat banyak berpindah menanam cabe dan tomat. Otomatis lowongan 'maurek' pun makin tipis. Seminggu kemaren malah kosong. Hari ini sudah Rabu masih belum ada duit tambahan dari jual gorengan hari Sabtu. Kacau.

Ara asyik melempar- lempar kerikil ke semak belukar ketika sebuah motor dengan suara khas berhenti di sampingnya. Seorang lelaki membuka helm.

Sementara Ara terpaku. Lupa sama Adiba yang sudah hampir menghabiskan es keduanya.

"Hei, Ra. Apa kabar?" Suara dan wajah yang sangat dikenal Ara. Lelaki  itu mengulurkan tangan.

"Ray." Disambutnya uluran tangan Ray. Mereka tersenyum lebar. Dua sahabat lama bersua. Yang satu
Nyawa Pulang ke Badan yang satu Bayang- Bayang Rindu. Ciee ... si Ara lupa tuh sama galaunya barusan.

"Apa kabar lo? Astaga, keren banget lo sekarang ... ckckck." Tak bisa dicegah mata Ara menatap Ray dari ujung kaki sampai puncak rambut. Jeans longgar, kaus di padu jaket Army membungkus tubuh atletisnya. Mantap jiwa.

Dari dulu apapun yang dipakai Ray emang selalu keren di mata Ara.

"Baik. Lo gimana? Lo juga keren." Ray tertawa melihat gaya Ara. Khas dia banget yang selalu diingat Ray. Celana training, jaket kaos, dan jilbab praktis melekat serampangan.

"Nyindir gue lu. Bilang aja acakadul." Manyun Ara, mencoba menutupi hatinya yang berbunga dibilang keren. Siapa yang pernah bilang dia keren sejak si babang meninggal dunia? Tak ada!

Sebenarnya Ara memang keren kan. Buktinya para ibu sekampung tak bosan mencari- cari segala sesuatu tentangnya.

"Haha ..."

Jikalau Kau CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang