Nama gue Ekki, 17 tahun, perempuan, masih sekolah. Lahir dari pasangan suami-istri kaya raya yang perusahaannya ada di mana-mana, terutama di ibu kota tercinta kita ini. Perusahaan bokap jumlahnya banyak, terkenal juga, belum lagi cabang-cabang perusahannya di beberapa daerah.
Sombong? Ya emang begitu kenyataannya.
Bukan anak tunggal, gue punya satu kakak perempuan dan satu kakak laki-laki yang jarak umurnya lumayan jauh dari gue. Gue dekat banget sama kakak laki-laki gue, namanya Ray, biasanya gue panggil bang Ray. Bukan sekedar abang-adek, bang Ray udah kayak my partner in crime. Asyik banget orangnya, walaupun kadang ngeselin kayak eek kambing.
Kakak perempuan gue namanya Sylvia. Gue nggak dekat sama dia, malah udah kayak orang musuhan. Gue nggak bisa banyak bicara tentang dia karna ya emang gue nggak dekat sama dia.
About my siblings, Sylvia kerja di perusahaan utama bokap, dia udah dipercaya banget di sana karna kinerja atau kualitas kerjanya yang katanya bagus banget. Bokap sering pamer di meja makan atau pas pertemuan keluarga besar gimana pintarnya Sylvia mengatur strategi dalam mengembangkan perusahaan bokap. Saking udah percayanya dia sama anak sulungnya ini, bokap nyerahin beberapa cabang perusahaannya untuk Sylvia pimpin. Bokap bangga dan nggak menyesal sama keputusannya karna Sylvia benar-benar sesuai sama yang dia harapkan.
Ray? Dia lebih memilih buat memulai semuanya dari awal tanpa bantuan orang tuanya. Benar-benar tanpa bantuan orang tua. Bersama pacarnya, bang Ray buka restoran makanan Jepang mulai dari tempat makan yang benar-benar kecil sampai akhirnya bisa sebesar sekarang. Lagi-lagi karna otak encer turunan dari bokap.
Tapi, apa semua kesuksesan bokap dan kakak-kakak gue yang baru gue ceritain tadi ada hubungannya sama diri gue sendiri? Nggak. Gue cuma perempuan biasa aja yang lagi numpang di keluarga ini. Gue beda dari Sylvia ataupun Ray. Gue nggak sepintar mereka berdua. Turunan otak bokap yang pintarnya bukan main nggak nurun ke gue sama sekali. Mungkin karna gue anak terakhir, jadi ampasnya pun nggak dapat. Gue nggak peduli juga sih, lagipula gue nggak ada keinginan yang sama kayak mereka di masa depan nanti.
Cukup perkenalan singkat gue dan keluarga gue.
Mulai hari ini, gue bakal selesaiin masa SMA gue di salah satu sekolah yang letaknya ada di Jakarta. Sebelumya tinggal di Bandung, sebenarnya gue udah menghabiskan dua setengah tahun sebagai murid SMA di sana, tapi gue harus pindah rumah sekaligus sekolah secara mendadak karna pekerjaan bokap. Tentu, bokap lebih memprioritaskan pekerjaannya dibandingkan urusan sekolah anak bungsunya ini.
Gue nggak perlu nunggu tahun depan buat ngulang kelas dua belas dari awal lagi, cukup lanjutin aja di sekolah baru. Entah gimana cara bokap membujuk sekolah itu buat nambah kursi secara mendadak. Karna gue masih numpang di keluarga ini, jadi ya gue ikutin aja dulu apa mau mereka.
Selesai sarapan, gue berdiri di depan jendela kaca besar di kamar gue, menatap pemandangan kota Jakarta sambil meminum sisa susu hangat buat sarapan tadi. Silau dari sinar matahari pagi yang menembus masuk ke dalam kamar gue seakan seperti memberi sambutan untuk hari pertama gue di kota ini.
Pagi Bandung yang dingin udah nggak bisa gue rasain lagi sekarang. Sambil menatap kendaraan-kendaraan di bawah sana, gue ingat-ingat lagi tujuan hidup gue.
Tujuan hidup gue? Cepat-cepat lulus sekolah, punya penghasilan sendiri dari pekerjaan yang gue suka, dan akhirnya cepat keluar dari keluarga ini.
"Ekki, ayo siap-siap sekolah"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
You Make Me Melt (GxG)
RomanceEkki, remaja perempuan berumur 17 tahun dengan kehidupan hitam putihnya. Semuanya terasa biasa saja untuknya. Tidak ada warna. Kosong. Hambar. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Agatha, teman sekelasnya. Pertemuan mereka mulai merubah pikirannya te...