Author Note : Vote sebelum membaca.
Lupakan tentang masa orientasi yang hanya kuikuti sehari karena dua hari sisanya aku habiskan untuk tidur-tiduran di rumah. Bukan tanpa alasan, aku tidak menyelesaikan masa orientasi, justru aku punya alasan yang tak bisa kuganggu gugat. Kalian ingat tidak sewaktu Nando bilang tidak mau berurusan denganku saat Kak Toro dan Kak Ani mengadukan kelakuanku padanya hari itu? Aku pikir karena dia mau menyelamatkanku, ternyata aku salah. Malamnya, Kak Linggar meneleponku, dia meminta maaf harus menyampaikan pesan kalau aku diskors dari kegiatan orientasi. Dia juga mengirimi surat resmi yang ditanda tangangi oleh Nando san kesiswaan.
Gila'kan? Seumur-umur belum pernah aku mendengar ada skorsing dikegiatan orientasi. Jangankan untuk mengenalnya lebih lanjut, mengenal sekolah saja aku tidak boleh.
Oke, lupakan saja soal itu. Toh, aku masih bisa bersekolah di SMA Pertiwi dan ini sudah jalan seminggu aku mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2015 sekolahku masih menganut kurikulum KTSP yang mana siswa kelas sepuluh belum mendapat jurusan. Jadinya siswa hanya dibagi menjadi delapan kelas, mulai dari sepuluh 1-8. Aku berada di kelas X-1—kelas yang katanya unggulan, tapi menurutku biasa-biasa saja—sekelas dengan Bagas.
Satu kelas terdiri dari 31 siswa. Ganjil, dan itu salah satu penyebab mengapa aku tidak punya teman sebangku di pojokan. Peraturan dari wali kelas kami yang kebetulan guru agama, siswa laki-laki dilarang sebangku dengan perempuan. Makanya aku tidak sebangku dengan Bagas. Tapi kami masih satu barisan, di barisan ke empat dekat jendela yang bersebelahan dengan kantin penjual gorengan. Hal yang membuat kami tidak fokus, kalau sudah mencium bau pisang goreng, apalagi dijam-jam mendekati istirahat.
Ah iya. Selain Bagas, aku punya satu teman cowok lagi namanya Obi. Mulai akrab sejak hari pertama masuk sekolah, kami sama-sama terlambat dan dihukum lari keliling lapangan 10 putaran. Dia orang Timur yang merantau ke Kalimantan ikut orangtuanya, jadi jangan heran kalau bahasanya agak aneh di telinga. Obi lawalata, begitu nama lengkapnya, paling kesal kalau rambut kritingnya disentuh apalagi sampai diacak-acak. Tapi yang namanya jail memang susah, semakin dilarang maka akan semakin gencar untuk melanggar. Manusia seperti Bagas contohnya, senang sekali dia kalau melihat Obi kesal.
"Ini semua kau punya gara-gara, sa pung rambut ini jadi rusak." Obi menjauh, wajahnya terluhat sebal sekali pada Bagas—mencari tempat aman—menyisir rambutnya. Dia memang suka membawa sisir kemana-mana. Kadang tidak ada bedanya juga antara rambutnya disisir atau tidak.
"Rambut kayak sarang tawon aja ribet lo, Bi," cibir Bagas.
"Kau pung mulut jang berisik, diam saja sudah, sa sibuk ini."
Bagas terkekeh, duduk di kursi kosong sebelahku. "Ibarat kursi ya, Tar, nggak ada yang dudukin berdebu apalagi hati."
"Hati lo, kan?" Sindirku telak, membuatnya menekuk wajah, sebal.
"Kayak lo enggak aja," balasnya.
"Emang, enggak. Hati gue itu udah diisi sama Nando."
"Nando pasti jijik denger lo ngomong begitu."
"Sialan!"
***
Di kelas sepuluh, biasanya siswa baru akan diperkenalkan dengan berbagai macam ekstrakurikuler dan wajib mengikuti setidaknya satu dari sekian banyak ekskul tersebut. Karena aku siswa baik yang patuh terhadap aturan, jadi kuputuskan untuk mengambil dua ekstrakurikuler. Pertama, aku ikut ekstrakurikuler pramuka—kurikulum ktsp, pramuka masih belum diwajibkan dan masih menjadi ekstrakurikuler pilihan. Kedua, aku mengambil ekstrakurikuler paling menantang dan butuh kesabaran ekstra dan hati baja yang tahan banting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dan Ilusiku [Completed✔]
Teen Fiction[ Selesai ditulis 17 juni 2019 ] ================================== Note : Follow terlebih dahulu sebelum membaca. ================================== •Attention : Cerita mengandung unsur ketagihan. Baca 1 part dan kalian akan kecanduan sampai endin...