Chapter 8. Alfan

6.6K 874 294
                                    

Alfan duduk di belakang kemudi dengan sangat tenang.

Lalu kemudian matanya melirik sosok yang sedari tadi duduk di sampingnya. Bibirnya hampir saja membentuk sebuah seringai ketika tahu bahwa rasa gugup tengah dirasakan oleh sosok itu.

Bagas berada di dalam mobilnya; duduk di sampingnya adalah ekspektasi ke sekian yang pernah Alfan miliki dan ia ingin menertawai dirinya sendiri saat ia merasakan perasaan penuh kemenangan karena telah berada dalam situasi ini.

Ketika Range Rover berwarna hitam kesayangannya berhenti di lampu merah, Alfan merasa mempunyai kesempatan. Ia menaruh atensi sepenuhnya pada sosok mungil di sampingnya.

Seringai pada bibirnya tercipta; walau itu hampir tidak terlihat ketika akhirnya Bagas tidak tahan terus ditatap olehnya. Bocah itu menatapnya dengan pandangan setengah takut setengah gugup.

Alfan membawa Bagas setelah acara peluk-cium di basement tempat koleganya berulang tahun dan ia merasa tidak menyesal sama sekali karena telah melakukan itu.

"Ke-kenapa, Pak?"

Pegangan pada setir mobilnya mengencang. Itu adalah kalimat pertama sejak Bagas berada di dalam mobilnya dan hanya membuat seluruh tubuhnya menegang dengan cara yang menyenangkan. Iner Alfan menertawainya dengan sangat keras.

Seorang bocah seperti Bagas bisa membuat kendali seorang Alfan Prasetya menjadi naik dan turun dan Alfan tidak akan membiarkannya begitu saja. Bagas akan menerima apa yang pantas ia terima dan Alfan akan mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Alfan. Bukan Pak." Katanya.

Bagas terlihat menelan salivanya. Wajah bocah itu sedikit memerah dengan sedikit keringat di beberapa bagian. Alfan menjadi terobsesi untuk melepas jas yang melekat pada tubuh bocah itu.

Ketika Bagas mengangguk dengan sangat cepat, Alfan menghembuskan nafasnya. Lalu saat ia ingin mengutarakan keinginan agar namanya disebut oleh sosok Bagas, lampu merah berganti dengan warna hijau. Alfan kembali fokus untuk membawa mobilnya.

Tidak ada pembicaraan selama sisa perjalanan. Alfan hanya ingin membiarkan Bagas untuk mendapatkan waktunya. Ia akan memberikan waktu yang selama bocah itu inginkan.

Sampai akhirnya pemandangan dimana Bagas yang terkagum melihat gedung di hadapannya hanya terasa sangat menarik bagi Alfan. Range Rover miliknya berhenti di gedung apartemennya dan ia akan mengajak Bagas untuk masuk ke dalam teritorinya, tentu saja.

Kali ini Alfan tidak bertanya saat Bagas terdiam di ambang pintu apartemennya. Kali ini Alfan hanya membiarkan pintu terbuka sambil terus menatap bocah itu. Kali ini Alfan akan menyerahkan semua keputusan apapun yang akan diambil sosok tersebut.

Dan ketika Bagas melangkahkan kedua kakinya memasuki ruangan pribadinya, Alfan merasa dunia telah berada di dalam genggaman tangannya.

Bagas duduk dengan cara yang sangat manis di sofa hitam besar kesayangannya dan pemandangan itu hanya membuat sesuatu di dalam diri Alfan perlahan bangkit. Tapi sekali lagi, Alfan akan memberikan waktu sebanyak yang Bagas inginkan.

Alfan kembali dari dapur setelah membuat kopi dan satu cangkir coklat panas untuk Bagas. Ia bisa mendengar lirihan terima kasih yang sosok itu dendangkan.

Alfan memilih untuk duduk dekat sekali dengan Bagas dan ia hampir mendengus penuh kegelian saat merasakan betapa gugup dan canggungnya bocah itu. Ia menyeruput kopi hitam miliknya lalu menaruh cangkir kopinya di atas meja. Alfan menggeser posisinya untuk bersandar pada sandaran sofa hitam miliknya. Tangan kanannya terjulur di sepanjang sandaran itu, melewati tubuh Bagas tanpa menyentuhnya.

When Love Happens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang