5. Pepatah Lama

26 5 0
                                    

Naya menutup pintu rumah bagian depan yang sudah ia tempati selama beberapa tahun terakhir itu dengan pelan. Ia kembali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dan mendesah lelah ketika mendapati jarum jam sudah menunjuk angka mendekati tengah malam.

Setelah meminta Dilla untuk menutup cafe jam sembilan tadi, ia masih menemani Adrian yang merengek kayak anak kecil untuk ditemani makan malam. Kalau dipikir-pikir tingkah pria itu lebih cocok disebut remaja labil dari pada pria berumur yang sudah siap berumuah tangga.

Dirinya kadang bertanya-tanya apakah para fans garis keras Adrian masih akan memuja pria itu andai mereka tahu sifat asli Adrian yang kekanan, sebuah sikap yang sangat bertolak belakang dengan yang biasa ia tampilkan tiap mengahadiri beberapa talkshow dan seminar kepenulisan serta meet and great yang membuat para pengagumnya menjerit seperti minta digorok. Ok, mungkin itu terlalu berlebihan.

Naya berjalan pelan setelah berhasil mengunci pintu berusaha tak menimbulkan suara agar tidak mengganggu penghuni rumah yang mungkin sudah tertidur.

"Baru pulang?"

Naya hampir berteriak nyaring andai ia tidak ingat bahwa ini sudah sangat malam dan mungkin bisa mengganggu tetangganya ketika ia mendengar sebuah suara dari arah dapur.

Beberapa saat setelahnya, ia bernapas lega ketika melihat Andini muncul dari keremangan cahaya dapur yang minim efek cahaya dari teras yang menyusup lewat jendela.

"Kamu suka ngangetin banget, sih!" Naya berseru cepat.

Andini hanya mengedikkan bahu tak acuh dan berjalan melewati Naya dengan segelas air di tangannya. "Abis lo jalan kayak maling ngendap-ngendap gitu." Andini menjawab ketika kakinya berpijak pada anak tangga pertama tanpa menoleh.

"Kamu kok belum tidur?" Naya memilih menyusul di belakang Andini menaiki satu persatu anak tangga menuju lantai atas tempat kamar mereka berada karena tante Dewi memilih kamar di bawah.

"Aku udah tidur, tapi kebangun gara-gara haus."

Naya mengangguk dan berjalan ke kamar yang bersebarangan dengan pintu coklat dengan stiker beruang besar milik Andini, ia mengaduk isi tasnya untuk mencari kunci dan menoleh ketika menangkap bayangan tubuh Andini ternyata berdiri di belakangnya.

"Aku tadi masih jalan sama Adrian, kok!" Tanpa diminta, Naya menjelaskan terlebih dahulu sebelum Andini kembali meyemprotnya karena pulang hampir tengah malam dan megira hal itu karena pekerjaan.

"Aku tahu, tadi Adrian udah ngabari."

Andini ikut masuk ke kamar Naya ketika ia sudah berhasil membuka pintunya dan langsung melemparkan tubuhnya di tempat tidur besar milik Naya.

"Terus?" Naya menoleh ke arah Andini dengan dahi mengerut setelah meletakkan tas yang ia bawa di tempatnya.

"Apanya yang terus?" tanya Andini tak acuh.

"Kok kamu masih di sini?"

"Emang ada larangan gue nggak boleh ke sini?"

Naya memilih diam tak menanggapi jawaban Andini yang memang suka seenaknya. Yang ia butuhkan saat ini hanya mandi dan segera istirahat. Tubuhnya benar-benar lelah setelah hampir seharian berdiri di dapur kemudian ditambah untuk menemani bayi besarnya yang merengek minta makan soto babat di dekat kantor pria itu yang memang hanya buka pada malam hari.

Naya memilih menyingkir dan masuk ke kamar mandi meninggalkan Andini yang tampak menutup matanya, dan ketika keluar dari kamar mandi ia sudah mendapati Andini yang tertidur dengan napas teratur.

Ia mengambil baju ganti di lemari dekat meja rias dan memakainya dengan cepat, kemudian melangkahkan kakinya mendekat ke arah ranjang dan membenarkan posisi tidur Andin yang tampak tidak nyaman dengan menjadikan lengannya sendiri sebagai bantal.

THE ONLY ONE (After All the Time)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang