Cerita Lama

486 20 13
                                    

Never mind
I'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
"Don't forget me," I begged
"I'll remember," you said
"Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead"
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead
Yeah

Someone like you - Adele

Yeah!!!
Lagu itu sudah menjadi lagu yang wajib untukku jika aku sedang menyendiri. Semenjak kejadian itu ... aku sering mendengarnya dan menyanyikannya. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaanku saat mulai mendengar atau pun menyanyikannya. Seutas demi seutas kenangan kembali terngiang di ingatanku. Dan rasa yang muncul itu bermacam-macam. Terkadang aku mengasihani diri sendiri atas nasib buruk yang aku dapati, dan terkadang aku bahagia dengan hanya mengingat kenangan itu. Dia sangat special untukku. Sangat! Dari dulu ... sampai sekarang.

Namaku Bulan Latifa Syakira. Umurku saat ini ... haruskah aku memberitahunya? Oke! Tak masalah! Umurku 29 tahun. Aku seorang dokter ahli penyakit dalam di salah satu rumah sakit swasta dan terkenal yang ada di daerah Medan. Dan aku belum menikah. Sedihnya hidupku bukan? Hei! Kalian yang sudah menikah jangan menghinaku yang belum menikah ini. Tapi ... aku sendiri pun tak tahu harus menyalahkan siapa.

Kenapa aku belum menikah? Pasti pertanyaan itu yang pertama kali muncul di pikiran kalian. Aku akan menjelaskannya melalui untaian kata yang aku rangkai. Tak perlu mengasihaniku karena aku merasa cukup tegar sampai saat ini. Bahkan sampai aku kembali bertemu dengannya, aku tetap berusaha tegar. Dan aku mampu!

Aku akan bercerita. Tentang kisah 11 tahun yang lalu. Sudah lama bukan? Ya! Memang sudah lama. Tapi aku seperti baru merasakan nasib itu datang setahun yang lalu. Rasa sakitnya masih sama, dan rasa cintanya pun ... tetap sama!

Tahun 2008

Sungguh bahagia hatiku saat mengetahui bahwa aku lulus sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitar internasional. Siapa yang tak bahagia mendapat kabar seperti itu? Aku sangat bahagia mendapatkan kabar itu. Hanya orang-orang cerdas saja yang bisa masuk ke sana. Berarti ... aku cerdas? Hahaha ... biarkan aku membanggakan diri. Universitas itu tempat banyak anak dari penjuru dunia akan mulai belajar di sana. Aku sangat bangga! Senyumanku terus terukir saat aku keluar rumah sampai aku duduk di sebuah bangku taman. Aku memegang sebuah amplop putih bersih yang ternoda oleh tinta hitam dan prangko. Noda itu mengukir kata demi kata menunjukkan teruntuk dan alamat. Aku mengenggamnya dengan erat sekali, tak ingin kertas itu terlepas dari tanganku dan terbang menjauh. Saat ini, surat ini adalah barang yang amat berharga dan membanggakan. Senyuman terus terukir di bibirku.

"Hai, Bulan!"

Itu suara seseorang yang amat kukenali. Ya! Aku ke taman untuk menemui seseorang. Seseorang yang amat kucintai. Aku tidak tahu kapan cinta itu mulai tumbuh. Yang aku tahu, dia adalah cinta pertamaku. Dia adalah sosok laki-laki yang baik hati, perhatian, dan penyayang. Aku nyaman berteman dengannya sejak kami duduk di bangku SMP. Kami selalu bersama bagaikan surat yang kupegang dan prangko yang menempel di surat ini. Kami tak bisa dipisahkan oleh apapun. Aku masih ingat bagaimana ia mengutarakan cintanya di depan kelas saat kami baru kelas IX. Itu kenangan yang paling indah.

"Bumi!" balasku menyapa Bumi yang berdiri di samping kursi yang kududuki. Senyumanku masih terus mengembang.

"Wah ... manis sekali senyummu hari ini. Ada kabar gembira apa?" tanya Bumi yang langsung duduk di dekatku. "Apa itu?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah amplop yang ada di tanganku.

Senyumku meredup. "Bumi!" Aku memulaikan perkataanku dengan merangkai kata lainnya yang akan aku keluarkan dan mengarah ke tujuan yang seperti niatku menemuinya hari ini. "Sebelumnya, maafkan aku yang telah menyembunyikannya darimu," kataku sambil menatap matanya. Jantungku berdegup kencang karena takut ia marah dan kecewa padaku. Dan juga ... aku takut dia meninggalkanku saat mendengar rahasia yang kusembunyikan.

"Kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Bumi dengan raut wajah keheranan. Aku hanya membalasnya dengan anggukan yang sedikit canggung. "Apa yang kamu sembunyikan?" tanya Bumi lagi dengan wajah penasarannya.

"Ini!" Aku menyerahkan amplop yang kuberikan.

Bumi menatapnya dengan amat lekat. Ia tak meraih amplop itu dan malah memilih menanyakannya dari pada membukanya terlebih dahulu. "Apa itu?" tanya Bumi dengan raut wajah menunjukkan bahwa ia semakin tak mengerti.

"Baca dulu. Nanti akan aku jelaskan," pintaku dan ia langsung menurutinya.

Bumi membukanya dengan cepat. Rasa penasarannya sangat tinggi saat ini. Ia ingin cepat mengetahui apa isi di dalam amplop tersebut. Tampak sekali dari gerakan tubuh dan tangannya. Begitu mendapatkan seutas kertas, ia langsung membukanya dan membacanya. Saat ini kami sama-sama terdiam.

"Kamu ...."

Suara itu muncul di mulut Bumi. Ia masih menatap kertas itu dengan raut wajah yang sulit aku pahami. Ia menatapku dengan wajah datarnya. Itu berhasil membuat jantungku semakin berdegup dan hatiku menjadi tidak tenang. Kumohon ya Tuhan ... surat itu jangan sampai menggoyahkan cinta kami dan merusakkan hubungan kami. Itulah doaku saat mata kami beradu dengan wajah datar yang ia tampakkan ke arahku.

"Kamu akan kuliah di Paris? Serius?" tanya Bumi dengan raut wajah datarnya.

"Ya! Aku lolos di sana. Dan aku ... sepertinya aku tak bisa menyia-nyiakannya," jelasku dengan suara canggungku.

Seketika, bibir Bumi tertarik melengkung menunjukkan ia tersenyum ramah. Tapi senyuman itu justru membuatku bingung. Ia tadi menunjukkan wajah datar, dan sekarang ... ia tersenyum. Apa maksudnya? Kebingungan semakin melandaku. "Kamu luar biasa!" ucapnya dengan mata yang berbinar. Perkataan itu ...

Apakah perkataan itu pertanda ia mengikhlaskan aku pergi jauh? Dan ... bagaimana dengan hubungan kami?

"Bagaimana?" tanyaku dengan hati-hati.

Kembali wajah Bumi mengkerut. "Bagaimana apanya?" tanya Bumi sepertinya tengah keheranan.

"Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu? Aku tak bisa hidup tanpa kamu. Aku tidak mau kehilanganmu hanya karena aku akan ke Paris," jelasku menjawab pertanyaan Bumi.

"Jadi ... kamu berpikir aku akan meninggalkanmu hanya karena jarak ini?" tanya Bumi dengan menunjukkan wajah ketidak percayaannya. Aku menjawabnya dengan menganggukkan kepalaku. "Hei! Jarak bukan penghalang bagiku untuk terus merajut kisah kita. Lagian, kamu ke sana untuk mengejar cita-citamu. Dan itu akan membanggakan diriku sendiri secara tidak langsung. Kamu harus percaya padaku, aku akan setia menunggu kamu kembali."

Ya! Itulah janji yang diberikan oleh Bumi. Aku tersenyum dengan haru yang besar di hatiku. Tak bisa kututupi rasa haru dan air mata yang menetes di pipiku. Aku sangat bahagia memiliki kekasih yang mengertiku. Aku sangat bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan padaku.

"Jangan menangis," kata Bumi yang mengusap air mataku.

"Aku terharu mendengar perkataanmu," balasku yang masih meneteskan air mata.

"Sudah-sudah. Tak perlu menangis. Harusnya kamu tersenyum," kata Bumi sambil kembali mengusap air mata di pipiku. "Kapan kamu akan berangkat?" tanya Bumi selanjutnya.

"Secepatnya. Sekitar 2 minggu lagi," jawabku sambil berpikir. Ya! Papa dan Mama mengusulkan aku lebih awal sampai di sana. Jadwal perkuliahan di sana lebih cepat ketimbang di Indonesia. Juga aku harus mencari tempat tinggal untukku di sana. Sungguh indah saat aku membayangkan apa yang akan aku lakukan di sana. Tapi kesedihan kembali menghampiriku saat kutatap wajah laki-laki di depanku ini. Pasti aku akan rindu berat padanya.

"Pergilah! Aku akan setia menunggumu. Hari ini, esok, bahkan selamanya. Aku akan menunggumu. Selagi aku menunggumu, aku akan menjemput cita-citaku agar kemudian kita bisa sukses bersama-sama!" ucap Bumi yang kembali berhasil membuat mataku berkaca-kaca.

Sungguh indah hari ini. Aku pikir diriku akan mendapat ucapan kata 'putus' dari Bumi karena aku tak memberitahunya tentang kapan aku mendaftarkan diri ke sana. Ternyata tidak! Bahkan ia tak menanyakan sama sekali kenapa aku tak memberitahunya. Andai aku tahu beginilah reaksi Bumi, lebih baik aku mengatakannya sejak awal. Mungkin sensasinya tak semenegang ini. Selain kata 'putus' yang aku pikirkan, ada kata lainnya juga yang menghampiri diriku. Yaitu 'tidak usah kuliah di sana dan batalkan itu'. Ternyata tidak! Dua dugaanku adalah dugaan yang salah!

Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang! Hitungan hari, aku akan pergi dari Indonesia. Dan akan kembali dengan title yang membanggakan di balik namaku.

Paris! Tunggu aku merajut kisah di sana ... dan sambutlah aku dengan pelukan hangat kotamu!

Friend of Life and Death #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang