"Puncaknya dari peduli adalah khawatir"
Siklus hidup Raina adalah Sekolah➡️Kerja➡️Pulang. Monoton bukan? Tapi jika lebih rinci, mungkin satu papan tulis saja tidak muat untuk menulis siklus hidupnya.
Seperti sekarang, papan tulis di depannya sudah dipenuhi tulisan-tulisan tidak berguna!
Pembunuh! Mati saja kau!
Kurang lebih seperti itu, kini raina sedang tidak mood untuk meladeni mulut-mulut kurang jahitan itu. Ia lebih memilih duduk manis di tempat dan membaca buku.
"Tumben nih anak diem aja?" Ucap salah satu manusia yang paling Raina benci.
Ersya Nindya dan 3 kurcacinya adalah tukang bully ternama di sekolah ini. Jika hukum tidak main-main mungkin mereka sudah di jerat pasal 54 UU 35/2014 tentang bullying disekolah.
Sedikit-sedikit Raina tau tentang hukum. Ia sering membaca dan menghafal pasal karena ini adalah bagian dari cita-citanya.
"Wah Sya.. songong banget tuh diem aja."
"Lagi nahan boker kali." kini giliran para kurcaci Ersya yang menjadi provokator.
"Maaf gue males ngeladenin mulut cabe kaya kalian!" Ucap Raina pedas. Tidak tanggung-tanggung ia bicara seperti itu. Kini mereka pun saling berhadapan.
"Apalo bilang? Ngomong sekali lagi di Depan gue!" Geram Ersya sampai bahunya naik turun menahan emosi.
"Da-sar mu-lut ca-be!" Raina pun mengeja satu persatu dan menambah kan penekanan disetiap kata-katanya.
"Bubarrrr bubarrr ada Pak Samsul..!!" Jerit seseorang yang tiba-tiba masuk dan keluar lagi, membuat Ersya dan 3 temannya ikut lari keluar. Mereka memang tidak satu kelas dengan Raina. Pagi-pagi ke kelas raina hanya untuk membuat masalah.
Hitungan detik teman kelasnya sudah duduk rapih bak anak TK. Sementara Raina masih berdiri karena bingung.
Bukannya pak Samsul yang datang melainkan seseorang yang kini sudah berdiri diambang pintu seraya menatap ke arah Raina.
Ia berjalan dengan pede-nya kearah papan tulis dan menghapus tulisan yang sempat membuat hati Raina sesak.
Siapa lagi kalau bukan Eza.
"Heh ngapain Lo? Katanya ada pak Samsul mending Lo balik ke kelas!" secara tidak langsung ketua kelas mengusir Eza.
"Gue ini utusannya pak Samsul. kata dia, papan tulis ini tiap pagi harus bersih. Mending ketua kelas disini atur anak buahnya! Gunanya papan tulis itu buat guru mengajar, bukannya nulis gajelass kek gini. Mau Lo gue bilangin?" Ucap Eza dengan tegasnya. Entah dia benar utusan atau hanya alibinya saja agar bisa masuk kelas Raina guna membuat Raina tenang.
"Iya iya jangan za, gue bakal atur ini kelas. Itu papan tulis mereka semua yang nulis, gue ngga." ketua kelas pun tidak mau mengalah, malah menyalahkan teman kelasnya. Nyalinya benar-benar seupil.
"Huhhhh.....!" Satu kelas pun bersorak tidak setuju dengan ucapan sang ketua.
Raina dan Eza pun saling melirik. Namun tidak berkutik.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFAIR
Teen Fiction(On Going) Karena disini, keadilan dipermainkan. Raina Adhyaksa adalah siswa SMA kelas 12. Ia hidup seorang diri. Ibunya meninggal saat ia dilahirkan. Jangan tanyakan ayahnya kemana? Ayahnya meninggal karena dituduh sebagai pembunuh pada tahun 201...