~Jika diam mu tak kunjung berakhir, maka jawabannya adalah IYA.~
/Eksa/
Diam. Mereka berempat terdiam membeku saat melihat di bawah sana teman-temannya sedang melakukan ritual pagi di hari Senin, sedangkan mereka kini malah memegang peralatan pembantu.
Ingin kesal tapi tak ada gunanya, ingin sabar tapi tidak bisa. Jika Bu Nilam itu adalah hewan, mungkin mereka berempat akan langsung menyembelih beliau.
Mereka kesal dengan Bu Nilam, bagaimana tidak? Hanya terlambat masuk gerbang dua menit saja mereka harus mendapat hukuman yang sangat berat, yaitu membersihkan lantai di sepanjang koridor kelas 12 IPS 1 sampai 5. Bayangkan, lima kelas, dan koridornya lumayan panjang.
"Vina! Lo ngapain sih main seluncuran pakai pel? Kayak bocah tau nggak! Gue kan jadi pengen." Nadia yang mendengar teguran dari Sefita pun langsung menggeplak kepala gadis itu. Dia pikir Sefita akan menasihati Vina, tapi ternyata sama saja. "Aduh, Nadia! Sakit!"
Nadia tak menjawab, pandangannya beralih menatap Listi, gadis itu kini sedang ....
"Semburan air kobokaaan ...."
"Byuurrr."
Listi tertawa ngakak, melihat ketiga sahabatnya menderita memang hobinya sejak dulu. Lihat, dia habis mengguyurkan seember air ke lantai hingga membuat sepatu ketiga sahabatnya basah kuyup.
Saling bertatap sebelum akhirnya, "LISTI! MATI LO!" Dan terjadilah aksi kejar-kejaran di sepanjang gedung lantai 3. Mereka ini, bukannya mengerjakan hukuman malah bermain. Jika Bu Nilam tahu, sudah pasti mereka akan langsung digantung di tiang bendera saat itu juga.
"Ehh ... ehh ... licin, eh Mas awas Mas, awaaas ...."
"Sreet ... bruuk ...." Ketiganya terdiam. Melihat Listi yang tersungkur menghantam tembok membuat mereka harus susah payah menahan tawa yang ingin sekali meledak. Bukannya mereka sungkan, masalahnya yang Listi tabrak tadi adalah Regar si kakak kelas paling berandal. Jadi mereka merasa sedikit ... takut.
"Bocah! Lo ngapain sih nabrak gue?! Sengaja ya lo?!" tuduh Regar dengan badan yang tadi juga sempat menabrak tembok. Listi yang pada dasarnya mudah emosi pun langsung menghentakkan kaki dan menatap sengit Regar.
"Woy, lo juga ngapain sih di sini?! Nggak baca di ujung tangga ada tulisan 'koridor sedang dipel'?"
"Ti ... Ekhm ... Kok lo nyolot?! Suka-suka gue dong mau di mana aja, bebas."
Listi heran saat melihat gelagat aneh dari Regar. Cowok itu seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak jadi. Entahlah, manusia satu ini memang selalu aneh di mata Listi.
"Bebas palelo migren! Ini sekolah bukan punya bapak lo woy?! Eh bentar-bentar ...." Listi mempertajam penglihatannya, ia seperti tidak asing dengan wajah Regar, dan saat gadis itu ingat, ia langsung menjentikkan jari. "LO COWOK KURANG BELAIAN YANG DI KANTIN KEMARIN KAN?! Pantes muka lo ngeselin!"
Regar melotot. Listi lebih melotot lagi. Hingga ketiga sahabat Listi pun memutuskan untuk mendekat dan meminta maaf kepada Regar, lalu mereka menyeret Listi menjauh memilih melanjutkan hukumannya. Jika terus dibiarkan, sudah pasti akan ada genjatan senjata antara Regar dan Listi, dan mereka sangat malas untuk menyaksikan itu semua.
•••
Sampai di kelas pun Listi masih saja uring-uringan. Dia kesal dengan Regar. Tapi gadis itu juga mengherankan, masa dari mereka berempat, hanya Listi lah yang tidak kenal dengan Regar? Padahal pria itu termasuk siswa terpopuler di sekolah.
Kring ....
Bunyi bel pertanda istirahat berdering sangat nyaring. Memang butuh waktu lama untuk mereka menyelesaikan hukuman tadi, bahkan keempat gadis itu sampai tidak mengikuti dua mata pelajaran. "Kantin!" ajak Vina yang langsung dituruti ketiganya.
Sebelum ke kantin, mereka berhenti terlebih dahulu di pinggir lapangan upacara. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya menjemur sepatu dan kaos kaki yang tadi basah. Jangan tanya kenapa Listi juga ikut menjemur sepatu, karena selepas mengerjakan hukuman tadi, ketiga sahabatnya kompak mengguyur air bekas pel ke sepatu gadis itu.
Setelah selesai, mereka melanjutkan perjalanan untuk menuju kantin dengan kaki tanpa alas, masa bodoh dengan tatapan murid-murid di sekitar mereka, yang penting mereka tidak merepotkan orang lain. Namun di belokan arah perpustakaan, mereka kembali bertemu dengan Regar dan juga teman-temannya. "Permisi, Kak. Kita mau lewat," ucap Sefita yang melihat jalan mereka dihadang dengan sengaja.
"Kok nunduk gitu ngomongnya? Gue di depan lo nih." Jantung Sefita mendadak kedinginan, ia tidak kuat jika diajak bicara dengan nada selembut itu. "Maaf, Kak."
"Kenalin, gue Eksa, mau ke kantin?" Sefita mulai menjabat tangan Eksa sambil diiringi senyuman. Demi apa pun dia sangat gugup. "Sefita. Iya kita mau ke kantin, bisa beri jalan?"
Eksa mengangguk dan menggeser badannya agar mereka berempat dapat melanjutkan perjalanan. Namun tidak dengan Regar, cowok itu malah menggeser kaki kanannya tepat saat Listi hendak melangkah. Tentu saja gadis itu tersandung, tapi untungnya ia tidak terjatuh.
Dengan tatapan nyalang Listi menatap Regar. Ia sungguh geram dengan lelaki yang berdiri di hadapannya saat ini. "Kalo punya kaki taroh yang bener dong!"
"Listi," panggil Nadia mencoba menenangkan sahabatnya itu. Namun, bukan Listi jika ia langsung menurut begitu saja. "Apa?! Lo mau bilang sabar?! Ga bisa sabar gue kalo sama orang kek dia!"
Bukannya kesal, Regar malah tersenyum samar melihat Listi yang mirip dengan bocah saat merajuk seperti itu. Sebenarnya ia tidak suka Listi yang pemberontak, tapi hanya ini jalan satu-satunya agar dirinya bisa ....
"Udah, ayo ke kantin ... lo nggak mau makan ayam bakarnya Bang Didin?" Kini Vina yang mencoba membujuk. Dan benar saja, Listi langsung luluh saat tiba-tiba perutnya berbunyi. Dasar Listi, makanan saja yang ada di pikirannya.
"Yaudah deh ayo."
Mereka kembali berjalan, namun baru beberapa langkah, suara Eksa kembali membuat mereka berhenti. "Sefita, gue ... gue suka sama lo." Semuanya terdiam mematung mendengar ucapan Eksa yang sangat kelewat berani itu.
Ucapan sepele tapi sangat berimbas fatal bagi jantung Sefita, buktinya saja, gadis itu langsung berlari meninggalkan mereka semua dan memilih menuju kantin. Entahlah, dia merasa malu bercampur bahagia.
"Gue suka gaya lo, Kak," ucap Listi sambil mengedipkan sebelah matanya dan mengacungkan jempol ke arah Eksa. Setelahnya ia juga berlari menyusul Sefita yang langsung diikuti oleh Vina dan Nadia. Dunia drama, menyatakan perasaan saja semudah menjentikkan jari. Tidak seperti dunia nyata yang kebanyakan orang lebih memilih mencintai dalam diam daripada mengutarakan perasaannya langsung pada orang yang dia suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RastgeleSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...