"Chagi aku ingin telurnya setengah matang."
Diam
Tidak ada balasan apa pun dari seorang pria berkulit putih pucat yang tengah sibuk menggoreng telur pagi ini. Seperti mengacuhkanny pria itu tidak sedikitpun melirik atau merespon hal-hal yang ku lakukan.
"Chagi.."
"Arasho, duduk sana." Aku tersenyum, dia membalikkan tubuhnya menatap ku dan menyuruh duduk di meja makan. Aku tersenyum manis melihat bagaimana mempesonanya pria ini, raut datar nan dingin itu seakan tidak mengurangi wajahnya tampangnya yang terlihat begitu manis.
"Makanlah."
Dia meletakkan sepiring nasi goreng dengan telur setengah matang diatasnya lalu mendudukan dirinya di sampingku setelah melepaskan apron dengan sulaman kucing manis di bagian tengahnya.
"Aku akan pergi bekerja jangan keluar dari rumah."
"Baiklah," ucapku tanpa banyak bertanya kembali. Aku tidak tahu kenapa, tapi Yoongi selalu melarangku untuk keluar dari rumahku. Yoongi tidak lagi banyak berkata, dia lebih memilih untuk memakan sarapannya di banding membalas setiap perkataan yang ku lemparkan pagi.
Aku tidak tahu kenapa, aku juga tidak mengerti kenapa Yoongi bersikap dingin padaku. Dia tidak pernah berbicara panjang ataupun mengobrol lama, Yoongi selalu menghindariku tanpa sebab.
***
"Kenapa dia tampan sekali?" bisik ku untuk sekian kalinya, aku memandangi Yoongi yang tengah memakai dasinya menghadap kearah jendela. Aku juga tidak paham kenapa Yoongi menutup seluruh cermin dengan kain putih di rumah ini, Yoongi juga tidak pernah membuka tirai rumah ini.
Jangan tanya kenapa? Aku juga tidak tahu, dulu aku sempat bertanya kenapa Yoongi tidak membuka tirai jendela atau melepaskan kain-kain yang menutupi cermin namun Yoongi tidak pernah menjawabnya, dia selalu diam dan mengabaikan ku.
Yoongi hanya menatap ku dengan tatapan datar lalu melengos pergi. Pernah satu ketika aku benar-benar memaksa Yoongi untuk melakukannya bahkan aku hampir membuka salah satu kain yang menutupi cermin tapi Yoongi segera menepis ku.
Aku ingat dengan jelas Yoongi menatap ku penuh amarah, dia terlihat begitu murka lalu tiba-tiba Yoongi tertunduk dan menangis tanpa sebab. Tubuhnya terperosok ke lantai, bahkan pria dingin berwajah tampan itu menangis dengan tersedu-sedu. Dan setelah hari itu aku juga tidak pernah menanyakannya lagi, aku juga tidak pernah memaksa Yoongi untuk membawa ku keluar.
***
Hari-hari ku berjalan seperti biasanya. Semuanya terulang sama setiap harinya. Aku tidak melirik pada sebuah cermin yang tertutup kain. Kaki ku melangkah dengan refleks bergerak kearah cermin itu.
Tangan ku terangkat, aku meneguk ludah ku dengan paksa. Sebenarnya aku sudah sangat penasaran kenapa Yoongi menutup seluruh cermin dan tirai di rumah ini. Aku hanya ingin tahu, terlebih aku juga ingin melihat bagaimana penampilan ku.
"Hanya mengintip saja. Yoongi juga sedang sibuk di ruang kerja," bisik Jiyeon mengangkat tangan kanannya. Dia meraih kain putih menutupi cermin di depan ku. Perasaan gugup dan takut itu begitu mendominasi ku rasa. Benarkah apa yang ku lakukan?
Aku mulai menarik kain putih yang menutupi cermin itu, perlahan sedikit demi sedikit kain yang menutupi cermin itu mulai tersingkap.
Jantung ku berdebar sangat cepat saat semakin lama kain putih itu tidak lagi menutupi cermin ini..
Deg!
Kain putih itu terjatuh begitu saja. Debar jantung ku terasa berhenti saat melihat cermin itu terlihat tanpa penghalang.