Masa Lalu Fahmi dan Perjumpaan Yusuf dengan Asna

7K 343 0
                                    


"Pangapuntene engkang katah, Nak Fahmi, serta Bapak juga Ibu,  kami tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sungguh kami tidak berani melanggar adat yang telah berlaku selama ini." Wajah lelaki paruh baya itu tertunduk lesu. Sebuah keputusan yang teramat berat bagi dirinya juga keluarganya.

Fahmi sontak kaget, pernikahan idaman yang sudah ada didepan mata, harus gagal begitu saja.

Semua orang yang ada dalam ruangan tersebut terdiam, berkecamuk dengan fikirannya masing-masing.

Suara isak tangis sang calon pengantin perempuan, Ayu Ningsih  menyayat hati bagi setiap orang yang mendengarnya. Sedang Fahmi hanya bisa menundukkan kepalanya menahan bulir-bulir bening jatuh dari matanya.

"Nak Fahmi adalah menantu idaman bagi kami. Namun ...." Ibu Ratna terdiam sejenak sambil menyeka air matanya. "Namun, jumlah weton kalian berdua yang tak cocok, mendapat tentangan dari anggota keluarga kami. Termasuk bapak saya, beliau sangat menantang pernikahan kalian. Segala perkataan buruk terlontar dari mulutnya. Sungguh kami takut jika perkataan buruk itu menimpa kalian nantinya."

Suara isak tangsih Ningsih semakin menjadi, bu Ratna pun segera memeluk putri tersayangnya.

Pernikahan yang diidamkan oleh kedua mempelai itu harus kandas dua bulan sebelum pernikahan itu terlaksana. Fahmi dan Ningsih sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan penuh perjuangan. Mereka sama-sama mondok di pesantren yang berbeda serta jatah liburan yang berbeda juga. Terpisah jarak hanya bisa membuat mereka saling merindukan dan saling menjaga dalam do'a.

"Kami sebenarnya tak tega harus menghancurkan hati kalian berdua. Tapi, sebagai orang tua sekaligus sebagai seorang anak kami harus melakukannya. Walau harus bertentangan dengan hati kami," jelas Pak Arman, bapak Ningsih.

"Kami juga mengerti keadaan Pak Arman dan keluarga. Sebelum kesini menyampaikan keputusan ini tentunya sudah kalian fikirkan matang-matang.  Sebuah adat yang tak ada diaturan syari'at tapi harus ditaati karena kehendak orang tua. Mungkin kita sudah tak mempercayainya. Namun apa jadinya jika kita menentang kehendak orang tua? Bukankah agama kita melarang kita menetang kehendak orang tua? Tolong dimengerti Nak Ningsih dan Fahmi, jangan kalian menentang hal ini dengan dalih syari'at tidak mempermasalahkannya. Jika sampai itu terjadi, bukan kalian menegakkan syari'at namun sebenarnya nafsu kalian yang berbicara," tegas Pak Ihsan, ayah Fahmi.

Fahmi dan Ningsih hanya mampu terdiam.

"Kami ke sini juga ingin mengembalikan cicin pertunangan serta gaun pengantin yang telah Nak Fahmi berikan."  Pak Arman menyerahkan sebuah bingkisan yang ia maksud. 

Pertahanan Fahmi akhirnya goyah, air matanya kini berlinang saat menatap bingkisan itu. Gaun berwarna biru kesukaan Ningsih serta sebuah cincin pertunangan Fahmi yang ia beli dari hasil keringatnya sendiri harus kembali kepadanya tanpa adanya pengantin perempuan yang memakainya. Fahmi mencoba mengatur nafasnya dan segera menyeka air matanya.

"Itu sudah menjadi hak Ningsih, Pak. Karena saya sudah memberikannya kepadanya. Jika pun akhirnya kami tak berjodoh semoga lain waktu bisa bermanfaat bagi Ningsih." Suara parau Fahmi menghiasi ruangan yang khas dengan ornamen-ornamen adat jawanya.

"Tidak, Mas, bagi Ningsih cincin dan gaun pengantin ini terlalu sakral. Jauh lebih pantas lagi jika Mas serahkan pada calon istri Mas suatu saat nanti," sergah Ningsih yang masih diiringi isak tangisnya.

Kedua mata mereka beradu pandang. Mengungkapkan segala isi hatinya lewat tatapan sendu. Fahmi semakin tak tega kala ia lihat Ningsih, perempuan yang ia cintai bercucuran air mata. Ada ketidak relaan disana. Namun, apalah daya, mungkin memang benar tidak berjodoh.

"Manusia hanya mampu merencanakan. Tapi kalo memang bukan jodohnya harus bagaimana lagi?" Bu Hasanah mencoba mencairkan suasana.

"Saya bisa mengerti keadaan ini."

MAHLIGAI CINTA SANTRI NDALEM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang