Ingin rasanya terbangun dari mimpi, namun semua foto tersebut memang merupakan diriku, dengan keadaan emosional dan kondisi fisik yang jauh lebih baik. Pakaian serta kondisiku nampak lebih baik, Namun bagaimana?? Aku hanya menatap dan menyentuh semua foto tersebut dengan gemetaran. Seakan-akan ada sesuatu yang terpanggil di dalam kepalaku, sesuatu yang selama ini tersembunyi. Aku berasa ingin menangis, tertawa dan bersedih bersamaan dengan denyutan kecil yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Luapan emosi membanjiri kepalaku seakan kepalaku berada di dasar air terjun.
Pria itu hanya tersenyum gembira sementara aku hanya bisa melihatnya dengan mata yang kemerahan dan berair serta linglung. Beberapa detik kemudian, dia memelukku, seakan-akan aku adalah saudaranya yang hilang, atau mungkin berdasarkan realitas foto tersebut, memang benar adanya. Aku merasakan semua perasaan itu bersamaan, bahkan kehangatan yang selama ini hilang. Ingatan-ingatan yang entah datang darimana membanjiriku, aku tidak tahu, aku benar-benar seperti baru saja diangkat dari dalam air. Mataku tak bisa diam, visi-visi yang sangat lama masuk ke dalam pikiranku, seakan-akan aku berada di realitas lain dari kehidupanku yang lama, kehidupanku sebagai seorang Salasar. Bahkan aku mengingat sebuah nama, nama milikku. Nama yang selama ini tak pernah terpanggil kembali setelah sekian lama.
"Silas, selamat datang kembali ke rumah asalmu, kak."
Ya, nama itu adalah aku. Aku adalah Silas. Lalu, sekilas nama untuk pria necis itu muncul bersamaan dengan namaku, namanya Gardy.
Pria necis itu nampak tersenyum lebar, menatapku seolah-olah aku pernah hilang dalam hidupnya. Seakan-akan aku kembali ke kehidupanku lagi.
" A-aku tahu kau bingung, Namun, yang paling penting, jasamu sangat berharga untuk menyelamatkan dunia ini. Jasamu sangat berharga untuk menemukan musuh paling berbahaya bagi ketahanan sistem ini. Kau adalah pahlawan, sama seperti yang diinginkan oleh Ayah ..."
"... Ayah ?!" Celetukku spontan setelah sebentuk emosi dan memori menenggelamkan masa laluku.
"Iya kak, Ayah. Orang yang telah menyelamatkan negeri ini dari kekacauan dan kerusakan. Orang yang telah mendidik kita dari kecil. Ayah ingin sekali bertemu denganmu, dia Sang Ketua, hanya dia yang bisa menjawab kebingunganmu." Jawabnya penuh yakin.
Kami keluar dari ruangan tersebut, menuju ke sisi pintu lain. Dalam perjalanan ini, selama hidupku. Tak pernah aku merasakan kebingungan melebihi keadaan sekarang. Ada dua kepribadian, dua ingatan dan dua memori dalam diriku. Mana yang sesungguhnya? Mana yang nyata dan mana yang palsu? Aku terjebak dalam dialog tanpa batas dengan diriku sekarang. Bagaimana orang yang disebut dengan Sang Ayah ini? kenapa ada hubungannya dengan kami? Aku tahu kedua orang tuaku dan Arvin meninggal pada saat pengeboman di pemukiman lama kami. Itulah satu-satunya ingatan paling membekas yang bagaimana itu masih ada di kepalaku. Bagaimana mungkin itu palsu? Lalu, bagaimana dengan ingatan masa kecilku lain yang sedang bersenang-senang bermain di pantai dan berlatih bela diri dengan banyak orang? kepalaku rasanya akan meledak membayangkan itu semua.
Setelah melamun aneh selama perjalanan, kami sampai di sebuah ruang kamar dengan renda-renda dan foto seorang berkumis tebal yang memakai baju kehormatan dengan puluhan pin terbuat dari emas. Kelambu-kelambu warna merah maron dan dinding yang bernuansa coklat gelap bersepuh emas sebagai penguatnya membawa kesan penuh kejayaan. Ada gambar peta seluruh Ursulanda terpampang besar di dinding, serta lagi-lagi lemari seukuran dinding yang bagian yang tersisa, penuh dengan buku-buku berbagai bahasa, tidak hanya dengan bahasa uni ursulanda. Ada seseorang yang berdiri mengarah pada kaca-kaca holografik yang memproyeksikan simulasi kota di sana, lengkap dengan gedung-gedung pencakar langit yang sangat tinggi.
"Ayah, Silas sudah kembali." Ucap Gardy dengan tenang dan agak membungkuk.
Pria itu mulai berbalik, tubuhnya yang tinggi besar dengan bahu yang nampak lebar menunjukkan wajah yang sulit disebut bersahabat. Rambutnya yang memutih dan mata biru mengintimidasi itu menghiasi kulitnya yang bersih namun keriput. Aku mencurigai sesuau dan dugaanku benar. pria ini adalah orang dalam lukisan yang terpampang besar tersebut, meski bentuk aslinya sudah sangat tua, namun tergambar jelas gestur tubuhnya yang menunjukkan kekuasaaan dan pengaruh kuat. Dia juga menunjukkan ekspresi seakan-akan aku adalah benda yang lama hilang. Ia dengan kuat dan keras memelukku hingga rasanya seluruh tulangku berbenturan. Gardy pergi begitu saja setelah merunduk kepada Sang Ketua, atau yang biasa kami panggil Ayah tersebut. Aku merunduk namun dia memegang pundakku.
" Selamat datang kembali, Ayah sangat merindukanmu." Senyumnya tampak mengerikan, dan membuatku bingung.
" Apa yang sebenarnya terjadi....beri aku jawaban." Aku menepis tangan pria itu dan menjauhinya. Memberi jarak sejauh mungkin dari pria tersebut agar aku bisa bernapas dan berpikir lancar, untuk memahami paradoks ingatan yang terus menerus menyerang. Orientasi arahku tiba-tiba jadi payah, mataku tak bisa diam berfokus pada satu arah. Melihat semua benda berada pada interval waktu yang hampir bersamaan, membuat rasa pusing ini juga menjalar ke belakang kepala, lalu melesak bagai peluru membuat mataku sakit. Seluruh darahku terasa berkumpul di kepala. Aku mencoba menggapai apapun untuk bertumpu, tapi buku-buku yang jadi sasaranku bertumpu malah ikut tersungkur ketanah.
Pria tua itu nampak khawatir, sesaat aku melihat pria paruh baya itu berlarian ke dalam dan luar ruangan, bersamaan dengan orang-orang berpakaian hitam putih yang mulai samar terlihat. Mereka membopong dan merebahkanku pada sebentuk samar mirip kasur rawat. Dalam ilusi-ilusi yang bermuncuan di sekitar pandanganku, aku mendengar suara Pria tersebut dalam sayup pandangan.
" Segera, kau akan tahu segalanya nak. "
Lantas, semua realitas yang aku yakini hilang dalam pekat gelap dan sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Ursulanda | dan bagaimana kami memenangkannya [ TAMAT ] [Revisi]
Fiksi IlmiahKisah-kisah lama telah hilang, dunia berganti pada lembaran baru. Tanah-tanah hijau itu jadi saksi dari tumbuhnya Tirani baru yang merongrong di era kebangkitan umat manusia. Jauh setelah gempa besar dan perang nuklir, segelintir umat manusia mulai...