ثَلَاثَةٌ

3.8K 219 94
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

3. Pertemuan

Menjalani kehidupan di daerah yang bukan zona nyaman, memang berat. Terlebih tidak sedikit pun tertanam keikhlasan dalam hati, membuat Alvin membenci lingkungan barunya. Indahnya kebebasan terganti oleh tersiksanya kurungan. Dua minggu dia lelah dengan kegiatan pesantren dan sekolah, yang padat dan tiada henti beraktivitas. Selama itu, tiada satu hari tanpa melanggar peraturan. Tingkahnya yang jail, nakal, dan tidak sopan sering kali ditegur sampai berakhir mendapatkan hukuman.

Seperti sekarang, karena memilih tidur daripada mendengarkan Ustadz Abbyan ceramah, Alvin berdiri menatap lurus menara masjid dan melantangkan surah Al-Ikhlas. Dia harus berdiri di sana sampai pengajian bubar, waktunya satu jam lagi.

Di sore hari, matahari yang biasanya redup kini masih menyengat. Sudah panas, gerah, ditambah pegal. Alvin semakin tidak menyukai tempat itu.

Seandainya dia ada di luar, di lingkungan bebas seperti yang dulu. Mungkin saja saat ini sedang kumpul dengan teman-temannya di markas, berbincang ria, membicarakan hal-hal yang mengundang tawa.

"Ngapain di sini?"

Alvin menoleh ke belakang, ingin melihat orang yang bertanya. Seorang gadis yang memakai khimar dengan gamis biru langit terlihat anggun. Dia membawa sebotol air mineral kemudian melemparkannya ke Alvin. Dengan sigap laki-laki itu menangkap.

"Dihukum. Lo juga ngapain di sini? Nggak ngaji di dalam?" Alvin bertanya balik. "Atau dihukum juga?

"Ini mau ke dalam," jawab gadis itu sambil berbalik setelah melempar senyum.

Manisnya ....

Dengan gesit Alvin meraih tangan yang lembutnya masyaAllah. Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Alvin tersenyum senang ketika gadis itu berbalik menatapnya. "Boleh kenalan?" tanyanya spontan.

Lagi, gadis itu tersenyum. Alvin benar-benar diterbangkan oleh senyum itu. Lengkung indah itu seperti nikotin, membuat candu. Astagfirullah, Vin! Istigfar, woy! Laki-laki itu mengusap wajah kasar, ada rasa malu yang menjalar ketika pandang saling bertemu.

"Velicia," kenalnya menyambut jabatan tangan laki-laki di hadapannya.

"Gue Alvin." Rasanya Alvin tidak mau melepas jabatan itu. Jika tidak ingat ini di kawasan pesantren, mungkin dia akan mengikuti keinginannya.

"Maaf, Veli harus ke dalam."

Barulah Alvin sadar, lalu melepaskan jabatan tangan itu.

Keduanya masih baru tinggal di lingkungan itu. Pergaulan dunia luar belum terhapus dalam diri. Mereka juga belum tahu batasan-batasan antara yang bukan mahram. Jabatan tangan di luar sana mungkin biasa, hal lumrah yang tidak dipedulikan. Padahal mereka belum tahu saja, dari sudut pandang Islam, hal sepele tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan hadist hasan mengatakan lebih baik kepala seseorang ditusuk jarum besi daripada menyentuh orang yang bukan mahramnya.

Pertemuan singkat tidak ada pengaruh untuk Veli. Tidak ada yang terkesan sedikit pun, hanya saja senyum laki-laki tadi mengingatkannya dengan sosok David yang berada di ibu kota.

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang