"Gimana, Nay?" Brian bertanya ketika sampai di ruang tamu Reres. Wanita itu sedang menyiapkan obat yang pasti untuk Nay."Udah baikan dia, cuman ya gitu, masih lemes dan pusing," jelas Reres. Masuk ke kamar Nay membawa air putih dan obat yang sudah dihancurkan karena belum bisa berupa pil utuh. "Ayo, Kak. Minum obatnya," ucap Reres ketika memasuki kamar Nay dan mendudukkan putri kecilnya.
"Pahit, Mi," lirih Nay.
"Ini, Mami bawain madu." Reres menunjukkan sebotol madu yang memang sengaja untuk Nay supaya tidak terlalu pahit lidahnya nanti.
"Ayo, Nak, buka mulutnya." Nay membuka mulutnya lebar. Gadis kecil itu ingin muntah saat butiran pahit menyentuh lidahnya, tapi Reres dengan cepat memberikan air putih yang sudah ia beri madu untuk menghilangkan rasa pahit dari obat tersebut.
Suara tepuk tangan muncul dadi pintu kamar Nay. Brian masuk sambil membawa satu kresek makanan di sebuah mini market sambil bertepuk tangan. "Nay hebat, ya. Nggak nangis pas minum obat."
Brian berdiri di samping Reres yang merapikan obat tersebut lalu berdiri. Membiarkannya Brian mengobrol bersama putrinya.
"Makasih, Om," ucap Nay senang saat menerima satu kresek camilan itu. Melihat isinya lalu berdecak kagum. "Makasih, Om," teriaknya lebih keras kali ini.
"Sama-sama. Gimana lukanya?" tanya Brian pada Nay yang memberikan satu makanan untuk dibukanya.
"Kemarin Nay berdarah. Sekarang, nggak." anak itu menjawab dengan riang. Sudah kembali pada mode gadis manis yang riang.
"Nangis, nggak?" tanya Brian lagi sambil menatap Nay penuh perhatian. Jelas ia merasa iba juga dengan keadaan Nay.
"Kemarin nangis, sekarang nggak."
"Pinter." Brian mengusap rambut Nay. Tersenyum karena gadis kecil itu sudah ceria lagi.
Reres memasuki kamar Nay lalu berdiri di samping Brian. Meneliti sebuah kertas lalu memberikan pada Brian. "Udah gue transfer, ya," ujar Reres sesaat setelah Brian menerima kertas tersebut lalu melihat coretan di sana.
Brian berujar senang karena Reres membayarkan gajinya. "Thank's."
"Udah di cek?" tanya Reres. Brian menggeleng. "Buruan cek."
"Kenapa memangnya?"
"Yah, siapa tahu gue salah transfer atau gimana gitu." Reres menjawab ia takut kurang memberikan payment.
"Yah, tinggal komplain, Res."
"Ya makanya komplain sekarang aja kalau nanti-nanti aku tolak. Males. Cepet!"
Brian menurut pada perintah Reres. Ia membuka ponselnya lalu menuju aplikasi mobile banking di sana. Tersenyum lebar saat tahu nominal yang baru saja ditransfer oleh Reres. Lumayan gede.
"Kalau yang minta endorse kayak kafe dan butik kemarin, fee-nya gede. Tapi kalau kayak skin care dan alat make up dikit. Aku bagi rata, kok. Wawan juga udah aku transfer." Reres menjelaskan mengenai pembayaran yang ia berikan kepada Brian dan juga Wawan.
"Thank's, Res. Ini enaknya kerja sama kamu. Kerja nggak tiap hari tapi gaji bisa sampai bulan berikutnya." Bagi Brian yang anak kos itu memang lumayan besar. Nggak ada kata akhir bulan buatnya karena memang besar dan jam kerja yang sangat santai membuat pria itu lebih memilih kerja bareng Reres daripada Saga.
Bukan alasan perasaan, tapi memang jam kerja dan gaji yang waow membuat Brian memilih Reres. Ia paling malas bangun pagi untuk kerja. Selain macet, kebiasaan tidur malamnya, berhasil membuat Brian selalu telat masuk kantor.
"Bri, bisa minta tolong, nggak?"
"Apa?"
"Anterin ambil baju di butik yang kemarin aku pesen baju, buat reuni," pinta Reres sambil berjalan masuk kamar. "Ayo, Bri."
Brian melirik Nay, "emm, anak-anak gimana?"
Pasalnya, Nay sedang sakit dan Brian tahu betul bahwa Reres tidak sejahat itu meninggalkan anak-anak. Apalagi untuk kepentingan sepele yang sebangsanya bisa ditunda karena masih ada jangka waktu beberapa hari sebelum reuni.
"Kay biar sama Mbak Ani dan Nay...."
"Nay?" tanya Brian menunggu. Ia menunggu jawaban Reres yang menggantung.
Mengambil nafas dalam, Reres berucap yang mengejutkan Brian, "Nay kita ajak. Tolong, nanti jagain dia selama aku cobain baju."
Hening beberapa saat. Brian terus mengamati gerak-gerik Reres yang aneh menurutnya. Hingga sebuah pertanyaan keluar dari bibir Brian membuat Reres menakutkan air mata yang dia tahan sejak kemarin, "Res ... are you okay?"
Reres menggeleng. Ia menunduk sambil terisak, tapi ia tahan supaya anak-anak tidak mendengarnya. "Oke, kita keluar sekarang. Aku gendong Nay ke mobil. Kamu ambil tas."
Selama perjalanan hanya keheningan yang ada. Reres tak ada niat sama sekali untuk membuka mulut ia hanya diam, tapi tangannya terus mengambil tisu menyeka air mata.
Brian menghela nafas. Pasti mereka bertengkar. Entah apa yang diributkan sampai Reres tertekan seperti ini. Sampai wanita yang disukainya ini menangis diam-diam.Reres mencoba baju yang ia pesan. Bajunya begitu pas dan cantik di tubuh Reres membuatnya terlihat ramping dan seksi. Harusnya ia bangga dan senang karena ia bisa menutupi bentuk tubuhnya saat ini, tapi wanita itu terlihat murung dan sedih.
Brian dengan sabar dan telaten menjaga Nay. Gadis itu dengan senang hati melihat ponsel milik Brian yang menampilkan lagu anak-anak. Bahkan dengan lancar Nay mengikutinya.
"Sudah?" tanya Brian saat Reres di sampingnya.
"Nunggu bentar masih dibungkus," jawab Reres.
"Ada apa?" Brian melirik Nay yang asyik mendengarkan lagu. Bahkan kini menambah volume-nya supaya pembicaraan mereka tidak terdengar oleh Nay.
"Saga marah sama gue. Dia bilang gue nggak sayang Nay. Dia hilang gue itu terlalu membela Siska. Dia bilang hue terlalu lembek jadi wanita. Enggak tegas jadi ibu," ujar Reres dengan bibir bergetar.
"Memangnya gimana Nay bisa jatuh?" Brian bertanya karena tentu saja ia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sebelum memberikan saran.
Reres menceritakan dari awal sampai akhir seperti apa yang Siska dan Nay ceritakan kepadanya. Brian menenangkan dengan seksama. Ia tak mau terlihat membela salah satu atau berusaha menjadi penengah.
"Dia keras kepala banget. Padahal gue udah coba jelasin kenapa gue bisa kayak gitu. Tapi dia tetap nggak mau ngerti dan terus nyalahin gue Bri."
"Menurutku, yah itu wajar sih, Res. Selain posisi Saga sebagai ayah dia juga sebagai pemilik perusahaan. Jadi, wajar kalau dia bisa bicara seperti itu. Gue juga ngerti maksud lo. Saran gue, kasih tuh sekretaris hukuman kayak sp satu atau nggak masuk seminggu gitu. Selain efek jera buat sekretaris, itu juga biar Saga tahu gimana rasanya kalau nggak ada sekretaris itu. Gimana?"
Reres tersenyum. Ia mengangguk setuju dengan usul Brian. Dalam hatinya menjadi bingung juga mengapa ia tak memikirkan tentang ide yang terucap barusan dari bibir pria.
"Ya sudah, ayo, balik. Kasihan anak-anak," ajak Brian.
Reres berjalan dengan Nay di gendongannya. Keduanya sudah memasuki mobil, tapi Brian belum. Pria itu mengangkat ponselnya yang entah panggilannya dari siapa. Reres dengan sabar menunggu sambil mengelus rambut hitam Nay.
"Reres sama lo?" tanya Saga diujung telepon pada Brian.
"Iya, kenapa?" Brian menjawab sembari melirik Reres di dalam.
"Ke mana?"
"Ke butik. Ambil baju Reres buat reuni besok."
"Apa? Ambil baju buat reuni? Terus, Nay?"
"Nay ada sama kita."
"Kay?"
"Emm, K-Kay ... Kay sama Mbak Ani di rumah," Brian menjawab lalu Saga menutup panggilan sepihak.
Di seberang sana Saga hanya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan Reres yang malah keluar hanya demi baju dan ... apa kata Brian tadi, reuni? Bisa-bisanya istrinya mengikuti kegiatan itu disaat putrinya sakit dan habis terjatuh.
"Kamu berubah, Res. Aku kecewa," lirih Saga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta 100 Kg
Romance🍓 Update lebih cepat di Karyakasa 🍓 "Bee, ce-petan ish, nan-ti anak-anak bangun," pinta seorang wanita bertubuh gemuk kepada sang suami yang tengah bergerak di belakangnya. Tak peduli dengan apa yang dikatakan sang istri, Saga malah asyik bergera...