'Kamu di apartemen?'
Masuknya pesan tersebut dalam notifikasi ponsel membuat sang pemilik bergegas menghampiri, bahkan sebelum si pengirim pesan memintanya walau tujuan awalnya memang untuk membahas masalah pekerjaan. Lagipula, pria itu juga tidak keberatan, sudah lama juga tak berjumpa sebab disibukkan membaca dan menyortir ratusan naskah dari perlombaan yang diadakan oleh kantor penerbitannya.
"Hai," sapa pria itu dengan sambut khas patri senyum kotaknya, membuka lebar pintu apartemen dan mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam. "Kamu laper nggak? Aku ada lauk padang, beli tadi siang."
Ada hujan, banyak angin, disertai petir, tiba-tiba saja grusak-grusuk ke unit apartemen tetangga malah dijamu dengan makanan berat. Sungguh, berdoa saat hujan memang sangat diijabah, dan ternyata dikabulkan secepat kilat.
Menolak adalah hal yang tabu, apalagi perihal makanan, belum lagi dirinya memang baru hanya memakan satu suap mie yang baru saja dibuat. Sungguh, kembali mengingatnya hanya mencipta pening di puncak kepala.
Selanjutnya, mereka melangkah menuju pantri, duduk saling berhadapan dengan piring yang tersaji di masing-masing sisi. Sejujurnya, lauk sengaja ia beli cukup banyak untuk persediaan hingga makan malam. Tapi, entah mengapa Wisnu ingin mengajak siapapun untuk makan bersama, barangkali karena akhir-akhir ini dirinya memang merasa kesepian.
Maklum, pujaan hatinya saja sudah menjadi kepemilikan pria lain. Siapa bilang mencari cinta yang baru itu mudah?
Tapi, tenang. Dirinya tak pernah mempunyai benak dalam memperebutkan insan yang kini dengan lahapnya bersantap sore di saat cuaca luar sedang meraung, walau terkadang khilaf juga nyata adanya. Sebenarnya, Wisnu juga sedikit kurang memahami situasi yang terjadi saat ini, maksudnya; seorang wanita bersuami kini sedang bertamu di apartemennya. Atau kalimat yang lebih tepat mungkin dirinya yang mengajak kemari; dengan dalih pekerjaan; dan tanpa menunggu lama langsung disetujui oleh sang wanita.
Ah, kemungkinan lain yang muncul yaitu si wanita sudah mendapat izin dari sang suami, sehingga diperbolehkan untuk kemari. Bukankah begitu hakikat dalam berumah tangga?
Rumah tangga ya—ah, agaknya dua kata itu mulai masuk ke dalam barisan paduan kata yang dirinya benci, lebih ke arah kesal, sih. Apalagi naskah-naskah lomba yang ia baca kebanyakan bertemakan hal itu; yang berujung perselingkuhan, lah, perceraian, lah, penyesalan, lah. Hah. Mudah sekali ditebak bagaimana akhirnya.
Dan, sialan sekali bagi seorang bintang capricorn, kenapa mencoba untuk jatuh cinta pada lain orang merupakan hal yang sulit dilakukan?
Tidak, Wisnu, tidak. Kamu bukan pebinor—perebut bini orang. Sesosok di hadapanmu hanyalah sebuah ujian terkait masalah percintaan.
Tapi, jodoh, siapa yang tahu, kan?
Yang mau menikah saja, belum tentu jadi.
"Belum makan berapa hari, Bu?" tegurnya saat melihat si wanita begitu lahap menyantap makanannya, tapi dirinya senang melihat pemandangan ini. Merasa seperti sudah 'kenyang' walau bahkan dirinya belum menyentuh sebutir pun nasi di piring.
Ah, ternyata tidak salah bila dirinya mengajak si wanita kemari. Nyatanya, jemu yang ia rasakan mulai menguap dan lenyap.
"Duh, Mbul, kamu penyelamat aku pokoknya," balas si wanita sambil terkekeh dengan rongga mulut yang terisi penuh.
"Pelan-pelan," daksanya mengikis jarak, mempekerjakan jemarinya untuk menyingkirkan surai si wanita dan diselipkan di belakang telinga, merasa sedikit risi saat helai rambut si wanita juga ikut berlomba untuk ikut terlahap yang nyatanya si pemilik mulut terus saja sibuk mengunyah, "rambutnya jangan keikut dimakan. Mau debus kamu, hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelakon Antagonis [Sudah Terbit]
General FictionSemua tak lagi sama, lebur seketika dalam satu kedipan mata. Demi mereka yang kusebut sebagai keluarga dan sahabat, aku rela mengoyak perih luka sendiri. ©astaghiri Sebagian cerita masih ada di wattpad, ya.