#01 Wahyu

86 15 43
                                    

Story by Aurelia_nwh91


"Bulan terdampar di pelataran

Hati yang temaram

Matamu juga mata-mataku

Ada hasrat yang mungkin terlarang

Satu kata yang sulit terucap

Hingga batinku tersiksa

Tuhan, tolong aku jelaskanlah

Perasaanku berubah jadi cinta"

Dia Wahyu.

Aku Chacha.

Dia ulat nangka.

Aku... Suka dia.

Iya, suka. Kalian mungkin bisa membayangkan bagaimana rasanya jatuh cinta kepada seseorang yang sejak kecil sudah seperti magnet. Selalu bersama.

Aku mengalami hal itu detik ini. Pada Muhammad Wahyu, sahabatku. Parahnya, dia casanova sekolah. Fans-nya banyak, seperti kacang goreng yang sering dijual kakek-kakek saat malam minggu di taman depan komplek. Tidak hanya dari sekolah ini saja. Tapi juga dari sekolah lain. Ketenarannya sudah mendominasi sekitaran Jakarta Selatan.

Luar biasa sekali memang pesonanya. Dia tampan, cerdas, rendah hati dan pandai bermain gitar. Gadis mana yang memiliki nyali untuk mengabaikan pesonanya itu?

Seperti matahari yang dikelilingi oleh banyak planet. Wahyu itu ibarat pusat tata surya. Semua atensi tertuju padanya. Beruntungnya aku, karena sudah bersahabat dengannya sejak kami kecil. Kedekatan itu membuatku nyaman. Hingga tak bisa mengkontrol perasaanku sendiri dan berujung mengubah kata sayang sebagai sahabat menjadi cinta. Entah sejak kapan, aku tak tahu.

Sampai saat ini, aku belum memiliki nyali besar untuk mengutarakannya. Rasanya begitu tersiksa memendam perasaan itu sendirian. Terlebih, banyak sekali gadis yang lebih cantik dan populer dari pada aku.

Dan detik ini, aku sedang mengamatinya yang tengah sibuk memberikan kecupan jauh untuk para adik kelasnya dari lantai dua sekolah. 'Fan Service', itu yang sering dia katakan kepadaku saat melakukan hal menyebalkan tersebut.

Cih, menjijikkan. Keningku mengernyit sebal.

"Cha, sahabat lo itu normal, gak, sih?" Nana, si ketua kelas paling galak bin judes, menyenggol lenganku. Hampir saja roti lapisku terjun bebas ke lantai kantin, jika saja gerak tubuhku tidak sigap.

Aku membuang napas berat. Mengalihkan pandanganku dari Wahyu ke roti lapis. "Gak tau, gue. Sejak gue kenal dia dari kecil, sifatnya gak pernah berubah. Terlalu pede dia tuh!" ujarku asal. Menutupi rasa cemburuku, karena Wahyu lebih memilih untuk menghabiskan jam istirahatnya dengan tebar pesona. Wahyu terlalu sadar akan kesempurnaan dirinya. Hingga akhirnya dia menjadi makhluk seperti itu.

Sudah bukan rahasia umum lagi, jika itu menyangkut tentang persahabatanku dengan si ulat nangka. Semua fans Wahyu tahu fakta tersebut. Karena hal itu lah, aku sering mengalami tekanan batin. Makhluk-makhluk genit itu selalu saja menitipkan bingkisan untuk Wahyu padaku. Jika kalian jadi aku, kalian pasti tahu bagaimana rasanya.

Jengkel bukan main. Rasanya, sesak. Seperti menelan bakso--yang dijual Mang Arief di depan gerbang sepulang sekolah--bulat-bulat.

Teeet!!!

Bel sekolah sudah berteriak nyaring, menandakan waktu istirahat yang sudah habis. Segera kutandaskan secangkir es teh manis yang biasa kupesan pada Bi Yuyun, pemilik kantin. "Bi, uangnya aku taro di sini, ya!" teriakku keras, lalu kabur menuju kelas sebelum Pak El keliling untuk menjewer siswa yang telat masuk kandang. Nama lengkap guru musik sekaligus guru BP berusia kepala tiga itu sebenarnya Lukman. Namun, kami para murid sudah terbiasa memanggilnya Pak El. Alasannya sederhana, hanya ingin meringkasnya saja.

Siang ini mata pelajarannya adalah Matematika. Bu Tata Yunita yang mengajar. Guru killer yang sering menyiksa murid dengan PR segunung. Namun itu bukan masalah untukku. Matematika adalah bagian dari hidupku. Lain hal dengan Wahyu. Wajah rupawannya tampak pucat, saat Bu Tata sudah menatapnya garang.

"Wahyu! Sini maju!" titah Bu Tata. Menunjuk ke arah Wahyu dengan wajah marah.

Wahyu yang biasanya selalu banyak tingkah, kini sudah berubah menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. Mati kutu sudah si casanova sekolah, jika harus dihapakan dengan Bu Tata. Hanya wanita paruh baya itu yang mampu menaklukkan sikap Wahyu yang pecicilan.

"PR kamu mana?!" tanya Bu Tata galak. Kedua matanya sudah melotot marah. Dipegangnya kuat-kuat mistar besar untuk membuat garis di papan tulis, siap bertempur.

Wahyu menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Meski dicap sebagai siswa paling cerdas di sekolah, tentunya Wahyu juga hanya manusia biasa yang punya rasa takut dan terkadang malas. Seperti detik ini. Entah karena sibuk apa, dia sampai lupa mengerjakan tugas yang maha penting itu.

Cengiran bodohnya muncul. Wahyu sudah tak bisa memberikan alasan apa pun pada Bu Tata.

"Berdiri di luar kelas sampai saya selesai mengajar! Mengerti?!"

Wahyu tak menjawab. Hanya bisa mengangguk patuh, lalu menghilang di balik pintu kelas yang tertutup rapat. Bu Tata kembali fokus mengajar dan memeriksa PR kami dengan seksama. Luar biasa sekali memang aura guru killer satu itu.

***

SAHABAT JADI CINTA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang