story by Aurelia_nwh91
"Apa yang kita kini tengah rasakan
Mengapa tak kita coba persatukan
Mungkin cobaan untuk persahabatan
Atau mungkin sebuah takdir Tuhan"
Kring
Kring
Dari kejauhan, sayup-sayup bel sekolah berbunyi, dan aku masih berada di sini. Di jalan menuju gerbang sekolah. Berlari cepat dengan tenanga yang tinggal setengah. Berusaha mengatur napas untuk mengisi paru-paru agar tak habis di tengah jalan, dengan mata merah dan bengkak sehabis menangis semalaman.
Semua ini karena ulah Wahyu. Kalau bukan karena dia yang memaksaku untuk bergadang dan meladeni ocehannya lewat pesan singkat, aku tidak akan terjebak di sini. Bisa putus telingaku nanti, saat Pak El melihatku terlambat masuk ke kelasnya.
Pak Sutar--satpam sekolah--perlahan terlihat mulai menutup pintu gerbang. Langkah semakin kukebut sambil terus memaki si Wahyu yang menyebalkan itu.
"Pak, pak, tunggu dulu! Saya mau masuk!" teriakku sepanjang jalan. Hingga akhirnya terhenti tepat di depan gerbang yang sudah tertutup rapat. Pak Sutar hanya bisa tersenyum sambil mengelus-elus kumisnya yang aduhai.
"Maaf Neng Chacha. Ini udah jam 7 teng," ujarnya meledek.
Satpan satu ini memang terlalu disiplin. Saat mendengar bel masuk, tubuh berlemaknya langsung sigap menutup gerbang dan tidak membiarkan siapa pun untuk masuk. Menyebalkan sekali.
Aku makin keki. Bibirku terus berkomat-kamit memaki Wahyu sambil tanganku merogoh ponsel dari saku rok abu-abu. Menelusuri jejak pesan singkat yang akhirnya kembali kubuka dan membuatku jengkel setengah mati.
Percakapan kami semalam masih ada di sana. Membuatku marah, namun enggan kuhapus. Rasanya ingin kutelan saja makhluk adam satu itu.
Baru saja aku ingin mengetik pesan, tiba-tiba ponselku bergetar. "Astagfirulloh!" pekikku kaget. Itu panggilan dari Wahyu.
"Assalamualaikum!" seruku kencang. Antara kesal juga terkejut.
"Hehe, Waalaikumsalam. Telat ya, Neng? Ke belakang sekolah, gih. Gue tunggu!"
Baru saja aku ingin memaki, Wahyu buru-buru menutup panggilannya. Tanpa salam. Seperti biasanya. Aku menuruti perkataannya untuk pergi ke belakang sekolah.
Sepi. Tidak ada siapa pun di sana selain Wahyu yang berdiri di balik pagar besi tinggi menjulang kokoh dua kali lipat dari tubuhku.
"Mau ngapain?" tanyaku bingung.
"Panjat, gih! Entar gue yang jagain!" titahnya. Aku memejamkan mata sambil menarik napas panjang. Makhluk ini kenapa bodoh sekali? Aku ini perempuan. Pakai rok sepan selutut, lalu disuruh panjat pagar? Gila! Aku heran, kenapa Laki-laki ini banyak fans-nya?
"Buruan, Chacha. Entar Pak Sutar keliling, lho!"
Dengan tenanga yang sudah mulai habis karena dipaksa marathon tadi, aku menuruti usulan Wahyu. Memanjat pagar tinggi itu pelan. "Jangan ngintipin daleman gue, Wahyu!" teriakku, saat sudah sampai di puncaknya.
Wahyu buru-buru balik badan. Membiarkan aku menyelesaikan tantangan yang sejujurnya baru pertama kali aku lakukan. Biasanya, aku tidak pernah terlambat datang ke sekolah.
"Yaudah, buruan! Bentar lagi Pak El nongol!"
Aku dan Wahyu melangkah beriringan menuju kelas 3 IPA 2 yang berada di paling ujung di lantai dua.
Banyak pasang mata memperhatikan kami. Terutama para adik kelas perempuan yang sepertinya iri karena melihatku berjalan sepanjang lorong bersama si casanova gadungan ini.
Aku semakin jengah, saat melihat Wahyu seolah menikmati perannya sebagai casanova sekolah. Tersenyum manis sambil memberikan kecupan jauh untuk para penggemarnya. Seperti Idol Korea saja kelakuannya.
Anggap saja aku cemburu. Ya, karena memang itu kenyataannya. Meski ada rasa malu, saat melihat sikap Wahyu yang alay seperti ulat nangka itu, anehnya jantungku malah ikut berdebar tak menentu. Gila sekali memang pesona si casanova satu ini.
Pak El sudah menunggu kami di depan kelas dengan raut wajah marah. "Jam berapa ini?" tanya Pak El galak. Terlalu lama hidup sendiri di usianya yang sudah tak lagi muda, membuat Pak El menjadi sensitif dan sering marah-marah. Aku tak menjawab, hanya bisa menunduk takut.
"Pak, katanya kemarin pengen denger saya nyanyi. Mumpung saya bawa gitar, tuh!" Wahyu tiba-tiba buka suara. Mengalihkan wajah marah Pak El menjadi senyum merekah. Guru musik satu itu sangat mengagungkan Wahyu, karena dia pandai bernyanyi dan bermain alat musik.
Pak El lantas mempersilahkan kami masuk. Beliau ikut duduk di bangku murid untuk memperhatikan Wahyu memamerkan kebolehannya.
Wahyu mendudukkan bokongnya di atas kursi guru yang ia seret hingga ke tengah. Tersenyum sedikit, sampai membuat teman-teman perempuanku histeris, lalu mulai memetik senar-senar gitarnya.
Dari intro-nya saja aku sudah tahu lagu apa yang akan ia mainkan. Itu lagu favoritku. Lagu yang aku rekomendasikan padanya dalam percakapan semalam untuk menyatakan cinta pada gadis yang ia suka.
Antara bahagia bercampur kesal. Kenapa aku harus merekomendasikan lagu itu? Mood-ku seketika memburuk. Wahyu pasti menyukai salah satu gadis di kelas ini. Entah itu Nana si ketua kelas judes namun baik hati, Dewi si maskot sekolah, atau Tiyas si ratu kecantikan di kelas.
Aku tak memiliki banyak harapan. Terlalu lama bersahabat mungkin sudah membuat Wahyu nyaman pada zona ini tanpa ada niatan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Lagi-lagi embusan napas panjang aku keluarkan. Aku ingin menangis saat ini juga.
Seusai lagu berhenti, seluruh penghuni kelas memberikan tepuk tangan meriah. Terhipnotis dengan suara merdu Wahyu yang menurutku biasa saja, karena aku bosan mendengar suaranya. Kapan pun dan di mana pun kami bepergian bersama, Wahyu selalu saja bernyanyi. Unjuk gigi pada setiap gadis yang ia temui di jalan.
"Oy, Chacha Hendratmo! Lo dengerin gue nyanyi, kan?!" Tiba-tiba Wahyu memanggilku. Aku yang sedang tidak fokus lantas menolehkan pandanganku ke arahnya yang saat itu tengah tersenyum cerah ke arahku.
Aku mengangguk sambil tercengang karena senyum mematikannya itu. Sampai lupa caranya bernapas. Sesak dan ingin meledak detik itu juga.
"Gue tau ini lagu favorit lo. Makanya gue nyanyiin. Gue sayang sama lo. Lo sayang gak sama gue?"
Gila!
Wahyu berhasil membuat wajahku merah padam. Dia tidak sedang menggombal padaku, kan?
"Cha, jangan diem aja, dong! Gue sayang beneran ini sama lo! Jadi pacar gue, ya!" Wahyu lebih menekankan kalimatnya. Membuat semua pasang mata hanya tertuju padaku. Seolah diintimidasi dan dituntut harus menjawab detik ini juga, aku akhirnya menangis keras.
Wahyu sontak berdiri dan langsung melangkah ke arahku. "Yah, Cha. Kok ditembak malah nangis? Lo emangnya gak sayang sama gue?"
"Arghhhhh, Muhammad Wahyu, lo kenapa bego banget, sih? Gak peka lo jadi cowok!" teriakku marah. Demi apa pun. Laki-laki tampan ini sepertinya memang tidak peka. "Gue sayang sama lo! Udah lama gue sayang sama lo!"
Wajah khawatir Wahyu berubah menjadi cengiran bodoh. Ia tergelak, sedang seluruh teman sekelas memberikan tepuk tangan meriah karena si casanova kini sudah ada yang memiliki.
Aku!
Iya, aku!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SAHABAT JADI CINTA √
Teen FictionBlurb: Jika garis takdir telah ditentukan, tak ada seorang pun yang mampu menghindarinya. Begitulah yang di rasakan Chacha. Seorang gadis SMA yang perlahan mulai menaruh perasaan lebih pada hubungan persahabatannya dengan Wahyu si casanova sekolah...