Antara Salib dan Tasbih (01)

112 5 0
                                    


Antara Salib dan Tasbih - Part 01




"Lima hari yang lalu, Mama SMS dan memintaku pulang ke rumah. Aku tak menyangka kalau setelah hampir empat bulan, Mama memanggilku pulang," kata Tiara padaku siang ini.

"Syukurlah kalau begitu. Orangtuamu tentu sudah menyadari kalau mereka telah salah mengusirmu dari rumah," jawabku.

"Aku tak ingin pulang, tindakan Papa ketika mengusirku dari rumah masih membekas dalam ingatan dan tak bisa dilupakan begitu saja. Tetapi Mama meyakinkanku kalau Papa yang meminta aku untuk pulang," Tiara melanjutkan ceritanya.

"Semua orang pernah berbuat salah Ra, termasuk Papa kamu."

"Justru aku curiga kalau ada sesuatu, Kak. Aku sangat mengenal Papa, ada alasan yang kuat kenapa tiba-tiba memanggilku pulang. Karena aku sama sekali tidak mempedulikannya, esoknya Mama SMS lagi hal yang sama. Sayangnya Mama sama sekali tidak bersedia menjelaskan alasan mengapa aku diminta kembali pulang."

"Sebaiknya kamu pulang, Ra. Kamu akan tahu alasannya kalau kamu pulang," kataku menyarankan.

"Sudah sejak kemarin aku pulang ke rumah, Kak. Dari depan gerbang hingga teras depan, segala sesuatunya kembali terbayang. Trauma itu masih terlalu kuat, namun aku memaksakan diri untuk terus melangkah masuk," ungkap Tiara.

"Papamu dan Amanda bagaimana ketika bertemu denganmu?" tanyaku ingin tahu.

"Mereka terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa," jawab Tiara datar.

"Mereka masih tak mau berbicara denganmu?" tanyaku lagi.

"Begitulah. Mungkin mereka belum siap untuk itu, aku juga tidak langsung menunjukkan sikap dan perilaku seperti sebelum delapan bulan belakangan ini," jawab Tiara.

"Syukurlah Ra, doa kita terkabulkan. Masih butuh proses untuk kembali normal seperti yang dulu." Aku senang Tiara sudah kembali berkumpul bersama dengan keluarganya.

"Tadi pagi Mama mengajakku bicara. Walaupun suaranya datar, dingin dan tidak seramah yang dulu, tetapi aku bahagia mendengarnya. Sejak Papa melarang Mama dan Manda berbicara denganku, delapan bulan sudah Mama tidak pernah berbicara denganku. Bahkan ketika aku mendekat, Mama tidak menghindariku seperti biasanya." Tiara kembali melanjutkan ceritanya.

"Apa yang dikatakan ibumu?"

"Awalnya Mama bertanya, hendak ke mana aku keluar dari rumah pagi-pagi. Setelah menjawab kalau aku hendak ke kampus, Mama menawariku sarapan. Suatu hal yang tidak pernah kutemui selama delapan bulan terakhir ini. Aku tersenyum sambil memeluk Mama erat, air mataku menetes, doaku agar keluargaku kembali normal seperti dahulu terkabulkan." Seulas senyum tergambar di wajah lelah Tiara.

"Mama memintaku agar jangan pulang malam-malam. Satu jam sebelum makan malam, aku sudah harus berada di rumah. Aku mengiyakan saja, walaupun aku penasaran, ada apakah gerangan Mama meminta demikian. Sepanjang di kampus, aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Walaupun baru Mama seorang yang mengajakku bicara, setidaknya sudah ada perubahan," lanjut Tiara lagi.

"Manda bagaimana?"

"Pagi itu aku tidak melihat keberadaan Manda. Mungkin ia belum bangun tidur," jawab Tiara.

"Kok, kamu malah sedih? Seharusnya kamu bahagia karena ibumu sudah berubah, kan?!" Aku bingung karena melihat Tiara menunduk dengan wajah murung.

"Justru itu masalahnya, Kak. Pada kenyataannya Mama tetap tidak berubah, aku justru menghadapi masalah baru. Kecurigaanku ternyata benar," jawab Tiara lirih.

"Memangnya kenapa?" tanyaku tak sabar.

"Ternyata aku salah. Aku buru-buru pulang untuk menemui Mama dengan senyum lebar. Manda yang secara tidak sengaja kutemui di ruang tengah terlihat mengerutkan dahinya ketika aku menanyakan keberadaan Mama. Ia tentu heran dengan perubahan sikapku yang kemarin masih murung, sore itu begitu ceria. Aku hanya tersenyum pada Manda setelah diberi tahu kalau Mama sedang berada di dalam kamarnya." Tiara kembali bercerita.

Hening.

"Aku mengetuk pintu kamar Mama dengan ragu, sedikit miris karena dulu biasanya hanya memanggil Mama lalu langsung masuk tanpa harus mengetuk pintu terlebih dahulu." Tiara mendesah.

"Aku berdiri dengan canggung di dekat pintu kamar Mama. Setelah terdengar suara Mama menyuruhku masuk, aku menenangkan diri sejenak lalu membuka pintu dan melangkah masuk menuju Mama yang terlihat berdiri di samping almari. Aku lalu diberi sebuah kotak yang tidak terlalu besar, Mama menyuruhku membukanya tanpa menjawab pertanyaanku apa isi bungkusan tersebut. Dengan ragu aku membukanya; sebuah gaun biru pucat tanpa lengan yang indah. Gaun yang sederhana, namun berbahan halus, terasa lembut di tanganku," cerita Tiara.

"Kamu diajak ikut resepsi pernikahan atau apa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Sama sekali bukan itu," Tiara menggeleng.

"Lantas apa?" tanyaku lagi karena Tiara masih diam.

"Ternyata Mama mengajakku saling bicara pagi itu hanya untuk satu tujuan. Mama memintaku memakai gaun tersebut pada acara pertunangan antara aku dengan anak dari teman Papa dua hari lagi," ucap Tiara setelah sempat terdiam sesaat.

"Tunangan?" Aku terkesiap kaget. "Namanya siapa? Masih kuliah atau sudah bekerja?" tanyaku beruntun.

"Namanya Ilham Budi Prasetya. Ternyata dengan diam-diam mereka merencanakan dan mengatur perjodohanku tanpa diketahui sebelumnya," jawab Tiara dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu sabar saja ya, Ra. Mungkin ...."

"Aku tidak mau, Kak. Pagi harinya aku sudah senang Mama mau bicara lagi denganku. Meskipun sedikit, namun itu adalah perubahan besar. Sayang, itu hanya perubahan semu. Dan aku kecewa," ucap Tiara dengan terbata-bata sambil mengusap air matanya.

"Papa bahkan mengancam akan melukai bahkan mungkin membunuh Sam jika aku menolak perjodohan itu. Aku bingung sekaligus takut, Kak. Papa serius dengan ancamannya. Aku tidak ingin perjodohan ini, namun aku juga tak ingin Sam terluka bahkan dibunuh oleh orang-orang suruhan Papa," kata Tiara lirih.

Hufft.... Entah apa yang harus kulakukan untuk membantu Tiara. Masalah yang sedang dihadapinya benar-benar rumit. Cinta beda agama selalu sangat rumit penyelesaiannya. Salah satu pihak mesti mengalah, entah itu mengalah untuk berpisah maupun mengalah dalam hal melepaskan keyakinannya.

"Aku tidak punya pilihan, Kak. Papa tidak ingin mendengar penolakan. Aku tidak setuju dengan pilihan Papa, namun aku juga tak ingin Sam terluka. Semua sudah diatur tanpa bisa dicegah," Tiara mendesah pasrah.

"Mungkin sudah waktunya bagimu untuk kembali pulang, Ra. Pulang pada keluarga dan terutama kepada Tuhan. Menurutku ini lebih baik daripada kamu terus menderita karena mempertahankan hubunganmu dengan Samuel," ujarku pelan.

"Apa yang terbaik buat mereka belum tentu baik untuk aku, Kak. Apakah seorang anak tidak memiliki hak, bahkan untuk sekedar memilih calon imamnya sendiri?" Kelopak mata Tiara sudah nyaris penuh oleh air mata.

"Menurutku, ini bukan tentang hak, bukan juga tentang boleh memilih atau tidak. Ini adalah tentang agama, pedoman hidup. Orangtuamu tentu tidak akan mati-matian menentang jika pacarmu bukanlah non muslim."

"Mereka menumbalkan kebahagiaanku dengan perjodohan dan pernikahan yang tidak pernah kuinginkan." Pertahanan Tiara jebol, rinai hujan semakin berkuasa di kedua bola matanya.

"Untuk masalah ini, aku tidak bisa membantu banyak, Ra. Aku hanya bisa mendoakan kamu agar kamu mampu melalui itu semua," ucapku sambil mengelus lembut bahunya.


-----ooOoo-----


"Tiara akan menikah sebulan lagi, Venz," ucap Sam padaku suatu malam.

"Secepat itu?" tanyaku kaget.


To be continued..

Dilarang Jatuh Cinta! 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang