5.| Sang Pengembara Cinta

3.2K 131 0
                                    

Cinta sejati adalah sesuatu yang nyata,

dan api yang menjadi bahan bakarnya akan menyala selamanya,

tanpa sebuah awalan dan tanpa sebuah akhiran….

Api cinta sejati yang menyala di jiwanya,

bagaikan obor yang terus menyala hingga akhir hayatnya.


Karena merasa gagal meminang Layla untuk putranya, sebagai harapan terakhirnya, Sayyid meminta pertolongan dari teman-teman putranya agar dapat menyadarkan putranya dengan nasihat-nasihat yang bagus.

Teman-teman Majnun mengajaknya berbicara dan berusaha mendebatnya dengan halus. “Mengapa hanya Layla?” tanya mereka. “Ada begitu banyak gadis di suku kita yang tak kalah menariknya dengan Layla: bearoma wangi, berpipi merah bak tulip, berbibir bak kelopak mawar dan bermata indah – kecantikan yang mungkin lebih dari gadis yang telah
mencuri hatimu! Kita mengenal begitu banyak gadis cantik – kau hanya tinggal memilih! Ayolah, daripada kau semakin menyiksa hatimu dan menjadikannya sebagai kuil bagi gadis yang tak dapat kau miliki, lebih baik kau mencari seseorang yang dapat memberikan rasa nyaman di hatimu dan memenuhinya dengan kebahagiaan! Pilihlah gadis dari suku kita sendiri, carilah pasangan hidup yang pantas untukmu. Lupakan saja Layla. Lepaskan ia!”

Majnun sadar bahwa maksud teman-temannya baik, namun mereka tak mengetahui seberapa besar sesungguhnya cintanya untuk Layla: mereka-mereka yang tak pernah merasakan rasa sakit seperti ini
takkan dapat memahaminya, apalagi menasihatinya. Ucapan-ucapan mereka tidak memadamkan api cinta Majnun namun justru semakin memperbesar nyala api itu, dan ketika mereka telah selesai menasihatinya, lautan api itu menyala jauh lebih besar dari sebelumnya.

Keputusasaan Majnun kini semakin besar dari sebelumnya. Tak ada seorang pun yang dapat menghiburnya: tak ada seorangpun yangdapat melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa pedihnya, kepedihan
yang telah membuat hari-harinya gelap untuk selamanya. Ia tak dapat tidur maupun makan: sebagian besar waktunya digunakan untuk berjalan tak tentu arah dalam keadaan linglung, kadangkala ia bahkan menunjukkan kepedihannya dengan memukul-mukul wajahnya dan merobek jubahnya. Majnun tak lagi memiliki tempat tinggal, ia mengasingkan diri dari tanah penuh kegembiraan dan menjadi orang yang berkabung di tanah kesedihan.

Pada akhirnya, Majnun tak lagi dapat bergaul dengan siapapun. Karena itulah ia meninggalkan orangtuanya, keluarganya serta teman-temannya dan melarikan diri ke tengah gurun, tanpa mengetahui ke mana arah tujuannya dan apa yang akan dilakukannya. Sambil menangis ia berucap, “Tak ada kekuatan yang melebihi kekuatan Allah”, ia terseok seok di lorong dan melewati kedai-kedai pasar, menyerahkan dirinya padabelas kasih Allah dan gurun pasir.

Semua orang yang mengelilinginya memandangnya dengan tak percaya tatkala ia berbicara, bertanya-tanya apakah ia menyadari keberadaan mereka. Lalu seolah hendak melenyapkan tanda tanya mereka,
ia menoleh ke arah semua orang dan berkata, “Aku tak mengharapkan kalian akan mengerti apa yang kukatakan, karena kalian semua tak menyadari betapa tersiksanya aku. Jadi, tinggalkan aku, biarkan aku pergi. Dan jangan mencoba untuk mencariku, karena pencarian kalian hanya akan sia-sia saja. Bagaimana mungkin kalian akan menemukanku karena aku tersesat, bahkan bagi diriku sendiri sekalipun? Pergilah, karena aku
tak sanggup lagi menghadapi siksaan serta tekanan dari kalian. Biarkan aku sendiri dengan kesedihanku. Tak perlu kalian mengantarku pergi dari kota ini, karena aku akan pergi sendiri. Selamat tinggal!”
Namun Majnun tak lagi memiliki kekuatan untuk bergerak. Ia malah jatuh berlutut di tanah, seolah sedang berdoa, dan mulai memohon agar kekasihnya bersedia membantunya.

“Aku tidak meminta banyak: hanya satu malam –satu malam dari seribu malam– itu yang kupinta. Selain rasa cintaku kepadamu, aku tak memiliki apapun: segalanya telah kutinggalkan, kupertaruhkan, dan akhirnya aku kehilangan semua itu. Kumohon, jangan tolak diriku. Jika kau marah kepadaku, padamkan kemarahanmu dengan airmataku. Sayangku, kaulah sang rembulan dan aku adalah bintang yang telah jatuh ke bumi karena merindukanmu."

Begitu suaranya semakin melemah, kaki Majnun pun melemah dan akhirnya ia terjatuh. Mereka-mereka yang mendengarnya berbicara, bergerak maju untuk menolongnya; dengan perlahan mereka mengangkatnya dan membawanya pulang ke kediaman orangtuanya.

Cinta sejati adalah sesuatu yang nyata, dan api yang menjadi bahan bakarnya akan menyala selamanya, tanpa sebuah
awalan dan tanpa sebuah akhiran. Dan begitulah, Majnun menjadi terkenal
di seluruh penjuru tanah itu sebagai seorang pecinta, karena api cinta sejati yang menyala di jiwanya bagaikan obor yang terus menyala hingga akhir hayatnya.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang