Perubahan Sifat

38.8K 995 25
                                    

Kasih tahu kalo ada typo!

Part ini cukup panjang, jadi siap-siap aja buat mengumpat gara-gara cerita ini makin nggak jelas.

***

Clarisa berjalan menuruni tangga rumahnya. Ia memasuki area meja makan, ia tidak menemukan siapapun kecuali Rio yang tengah makan malam sendirian. Ia menengok ke arah dapur, tidak ada mama Rio yang biasanya sibuk mondar-mandir untuk mempersiapkan makan malam. Ia mengernyit, kenapa keadaan rumah begitu sepi. Ia lantas mengambil tempat di samping Rio dan mengambil nasi serta mengambil tumis kangkung yang akan ia jadikan lauk.

"Mama lo kok nggak ada? Papa lo juga nggak ada, mereka emang ke mana?"

Rio menghentikan aktivitas makannya dan menoleh ke Clarisa yang kini tengah menyuapkan sesendok nasi. "Keluar, katanya ada acara bareng temen. Nggak tau kenapa mereka bisa dua hari berturut-turut keluar rumah. Padahal nggak biasanya kayak begini."

Clarisa hanya bisa mengangguk. Ia memilih untuk melanjutkan makannya kembali. Suasana makan yang terasa sepi, mungkin sangat sepi. Rio hanya fokus pada makanan di hadapan cowok itu. Begitupun dengan Clarisa. Ia bingung untuk membuka percakapan antara mereka. Ia merasa cukup canggung, terasa begitu garing momen.

"Gue nanti mau keluar, lo berani atau nggak di rumah sendiri? Gue nggak mau balik lagi ke rumah kalo alasan lo takut di rumah sendirian."

"Gue ikut," jawab Clarisa dan segera menghabiskan makanannya.

Selesai makan, ia mulai membereskan makanan di meja makan dan mencuci piringnya dan piring Rio yang ditinggalkan begitu saja. Baru setelah ia selesai, ia segera berlari menuju kamarnya untuk bersiap. Ia hanya mengambil jaket dan mengganti celana selututnya dengan celana jeans panjang. Sedangkan rambutnya hanya ia ikat asal dan menyambar ponsel serta uang lima puluh ribu untuk jaga-jaga jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Clarisa melangkah dengan cepat ke bawah. Ia bergegas menuju garasi untuk menghampiri Rio. Tampak orang yang ia cari sudah bersiap dengan jaket berwarna hitam yang begitu cocok di tubuhnya. Ia berdeham hingga membuat Rio menoleh ke arahnya. Tatapan cowok itu menuju pada pakaian Clarisa yang cukup sederhana, ia juga menatap alas kaki yang dipakai gadis itu. Hanya sandal jepit berwarna putih, sangatlah sederhana.

"Ambil helm sana, sekalian buat lo nggak kedinginan."

Clarisa mengangguk patuh, ia lantas melangkah untuk mendekati meja yang menaruh banyak helm. Ia mengambil helm berwarna merah dan segera mengenakannya. Ia mengikuti Rio yang mulai menjalankan motor dengan perlahan. Sebelumnya ia menyempatkan untuk menutup pintu garasi dan menutup gerbang. Baru setelahnya ia mulai menaiki motor milik Rio.

"Lo maunya ke mana?"

"Makan yang anget-anget kayaknya enak, gimana menurut lo?"

Rio menanggapi ucapan dari Clarisa hanya dengan mengangguk, padahal dalam hati ia ingin berkata jika mereka baru saja makan. Mulutnya terasa geli untuk berucap "emang lo nggak takut gendut?", tapi ia harus ingat, kata gendut cukup keramat untuk seorang gadis. Ia lantas menjalankan motornya dengan perlahan.

Selama diperjalanan,  baik Clarisa dan Rio hanya diam. Clarisa hanya diam sembari mengeratkan jaket pada tubuhnya. Malam ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Cukup awal jika ia mengatakan menyesal pergi bersama Rio. Mungkin lima puluh untuk kata menyesal, dan lima puluh lagi untuk merasa senang.

Senang?

Iya, Clarisa merasa senang. Entahlah senang karena bisa keluar malam karena selama ini ia belum pernah keluar malam. Mungkin pernah, hanya saja kalau bersama keluarganya atau saat bersama Cika karena kepentingan yang sangat mendesak, mungkin. Dan untuk saat ini ia keluar tanpa keluarga, tanpa Cika, tapi bersama orang yang belum begitu ia kenal dan seorang laki-laki pula.

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang