Hari ini terasa lebih panas dari kemarin, awan dilangit juga tidak kelihatan, kosong seperti kanvas putih polos, “ramalan cuaca bilang hari ini akan cerah seharian. Hm, semoga benar.” Riana berjalan santai melewati jalanan yang sepi, jembatan, lalu taman, banyak siswa lain yang sedang berangkat ke sekolahnya masing-masing ̶ ada juga dari sekolah yang sama dengan Riana – tapi tidak ada yang berjalan bersamanya. Jawaban yang pas adalah dia tidak punya teman. “Dia sendirian lagi hari ini” kata-kata yang tiap hari dia dengar. Wajar disaat ada murid baru yang pindah diawal semester baru, dia akan sulit mendapat teman dengan cepat, karena tiap murid dikelas sudah membuat gank mereka masing-masing. Kumpulan berisik, kumpulan gaul, kumpulan nakal, dan kumpulan culun. Dan mungkin dia akan masuk dipilihan terakhir. Tapi kepala Riana lebih keras dari lainnya, dia tidak ambil pusing mau pilih masuk yang mana – karena semua membosankan – dan semua sampai dimana dia tidak punya teman sama sekali. “aku lebih suka judul buku baru” – ya, dia pernah berkata begitu sambil membandingkan ‘orang-orang’ dengan sebuah buku.
“Hei, Riana! Kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu!”
Jam segini ia sudah disapa orang lain, mimpi apa Riana semalam. Tapi, Riana tidak punya teman disekolah, jadi mereka mungkin sesuatu yang lain. “Oh, selamat pagi.” Sambil berjalan melewati orang itu. Jengkel dengan tingkah Riana, orang itu menariknya, “Hei aku ingin bicara denganmu. Bukan mendengar ucapan selamat pagi.” Merasakan tekanan ditangannya, Riana berkata, “Aw, sa-sakit.” Spontan orang itu melepaskan tangan Riana yang mulai terlihat kesakitan, “Eh-a, ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud”
Sebenarnya tangan Riana baik-baik saja, bahkan tidak sakit sama sekali, itu hanya tipuan agar ia bisa cepat pergi, “Aku maafkan. Kalau begitu selamat tinggal.”
Suasana kelas yang ‘biasa’ sudah bisa dirasakan Riana dari jarak 10 meter. Sambil menghembuskan nafas pelan, Riana melihat Amri ada didepan pintu kelas, “Selamat pagi, Riana.” Sapa Amri ke Riana.
“Pagi juga.” Balas Riana singkat sambil masuk kedalam kelas dan duduk dimejanya.
Amri yang bengong karena balasan dingin Riana langsung menghampiri ke mejanya. “Seperti biasa, ya – ” belum sempat Amri selesai bicara, dia merasakan aura Riana yang menyuruhnya untuk pergi. “Y-ya-h, kalau begitu aku kembali ke mejaku dulu,” lalu bergegas ke mejanya.“Ba-baru kali ini, ada yang menyapaku, dua kali malahan. Ta-tapi aura jahat apa itu tadi, a-aku yang membuatnya?” pikir Riana yang mulai berkeringat sambil tetap membaca buku. Walaupun Riana tidak punya teman disekolah, dia masih sangat senang kalau ada yang berbicara dengannya. Tapi, dia kadang bingung harus bersikap bagaimana, karena itu ‘aura’ jahatnya sering muncul saat dia mulai grogi.
Hari ini pelajaran sastra dan itu selalu jadi obat tidur favorit anak-anak. Apalagi pak Hari sudah tua dan bentar lagi pensiun, jadi seperti dongeng sebelum tidur saat pak Hari mulai membaca sastra-sastra itu. Tapi tidak bagi Riana, sastra salah satu bacaan favoritnya, bahkan dia mencoba membuat karya sastranya sendiri dan mencoba melombakannya.
“Ya, seperti itu dulu pelajaran hari ini, kita lanjutkan lain waktu.” Kata pak Hari sambil merakapikan buku-bukunya, “Oiya, Riana, kamu ikut keruangan bapak.” Tambah pak Hari.
“Siap, pak,” balas Riana menghampiri pak Hari, “Saya bantu bawakan bukunya, pak.”
“Ohya, terima kasih.”
Lalu pak Hari yang diikuti Riana berjalan meninggalkan kelas, “Ini tentang karya sastra kamu yang kemarin kamu usulkan.”“Jadi bagaimana, pak?”
“Sudah bagus, hanya masih kurang saja” balas pak Hari.
“Jadi masih belum bisa masuk perlombaan.” Ucap Riana, pandangannya perlahan mulai menunduk.
“Semakin lama kamu pahat sebongkah kayu, ia akan makin bagus dan makin berharga. Makin lama kamu belajar dalam tiap goresan penamu itu, tulisanmu akan makin bagus dan penuh makna. Jadi jangan patah semangat, kamu masih bisa berkembang, seperti mawar yang makin indah saat dia mekar.” Kata pak Hari menghibur Riana.
“Ahem, ya, pak, ini bukan waktunya sedih, saya akan lebih giat lagi membuat sastra-sastra yang indah.” Balas Riana bersemangat
“Hohoho, bagus,, bagus. Kalau begitu bukunya bisa kamu taruh dimeja dan lekas pulang.” Kata pak Hari saat jarinya menunjuk meja kerjanya.
“Siap, pak. Saya permisi.” Setelah menaruh buku dimeja, Riana langsung kembali ke kelas untuk mengambil tasnya lalu pulang.
̶
“Riana bodoh, ada yang ingin kubicarakan dengannya, dia malah pergi dengan wajah tidak bersalah. Huff,,”
Dia Nanda Nasution teman-temannya memanggilnya Nana, badannya tidak terlalu tinggi, dengan wajah bulat dan rambutnya terurai sampai pinggang, bisa dibilang dia itu imut, dan dia dikelas yang sama dengan Riana.
“Selamat pagi, Nana.”
Mendengar suara yang sangat dia kenal, Nana berbalik, “Um-a, Se-selamat pagi, Amri.”
“Kenapa kamu terlihat buru-buru?” tanya Amri.
Nana yang gugup karena Amri tiba-tiba ada didepannya mencoba tenang, “Aaaa,,,semoga dia tidak melihat aku gugup.”
“ah-ya, ada PR yang belum aku kerjakan semalam” jawab Nana yang mulai berkeringat.
“Benarkah? Kalau begitu kamu harus cepat – ah itu dia.”
Nana tahu kata terakhir Amri itu tidak ditujukan padanya, mata Amri melihat melewati Nana. Saat Nana mulai tenggelam dalam lamunan, suara Amri membangunkannya, “Kalau begitu aku duluan ya. Jangan lupa PR mu” kata Amri sambil tersenyum dan meninggalkan Nana disana. Nana hanya bisa melihat punggung Amri yang makin jauh dan itu membuat hatinya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratusan Kilometer
RandomKisah ini dibuat dari puisi yg berasal dari kisah nyata. Bercerita tentang Riana yang pendiam suatu ketika mulai didekati salah satu laki-laki dikelasnya bernama Amri. Dengan rahasia yang Amri sembunyikan dari Riana, bumbu-bumbu cinta mulai tercium...