Pasti kuceritakan, tentang bagaimana Sulung dan Bungsu kembali ke pelukan ini, setelah satu setengah dekade pergi tanpa pamit. Namun, sebelum itu, terlebih dahulu akan kugambarkan keadaan di satu senja yang gerimis pada dua tujuh Desember 2004, delapan belas tahun silam. Saat dipertemukan dengan takdir yang memisahkan aku dan belahan jiwa.
Kutatap panorama pergantian siang malam ini dengan mata sayu, bersedekap menahan dingin embusan angin sore. Kecamuk pergulatan hati terjadi, tentang bagaimana caraku untuk terus bertahan di esok nanti. Esok di masa depan.
Aah, izinkan aku menangis kali ini. Menikmati senja yang hampir habis dengan huru-hara rasa. Gelisah meraja. Sudah hampir sebulan, Hubby, suamiku, tak mampu melakukan kewajiban utamanya, menjadi tulang punggung keluarga. Terpaksa ia harus mengambil pensiun dari kantor karena kondisi kesehatan yang semakin memburuk. Mengharuskan keluar masuk rumah sakit, transfusi darah berkali-kali. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit.
Pernah suatu ketika si kecil merengek minta dibelikan 'Teddy Bear' pink seperti milik teman-teman lainnya, tapi tak kupenuhi. Bukan maksud menjadi orang tua yang tak membahagiakan anak. Namun, himpitan keadaan mengharuskan diri untuk menanggung gunungan malu, cibiran, daripada melihat tangis Kanza karena kelaparan.
"Ayolah, Umi ... belikan boneka cepelti teman-teman."
Si kecil menangis sepanjang jalan, merajuk habis-habisan. Memberontak saat hendak kugendong, menarik-narik ujung bawah bajuku. Tiap pasang mata yang melihat mengiba, memberondong telingaku dengan kata-kata tegas. Agar aku segera memenuhi permintaannya.
Bagaimana mungkin? Kubelanjakan isi dompet, membelikan sebuah 'Teddy Bear' impian Kanza, sedang uang itu seharusnya untuk belanja bahan makanan untuk esok. 'Maafkan Umi, Nak ... ' kutahan bulir bening yang sedari tadi ingin keluar begitu saja.
*****
Hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah lengang. Bising. Sepulang menemani Hubby transfusi, kuselonjorkan kaki di sofa di ruang tengah. Lelah. Di ujung ruangan tampak sulung tengah memajumundurkan langkah. Ragu-ragu. Spontan, kupanggil Reza agar segera mendekat, mengutarakan maksudnya.
"Sudah ada rezeki belum, Mi?"
Jagoanku menunduk lesu, seakan tak sampai hati menyampaikan topik pembicaraan tadi. Seragam putih abu-abu masih menempel di tubuhnya. Aku paham, sudah dua bulan ini SPP-nya belum terbayarkan. Kubelai pundak kokoh Reza sambil menarik senyum di kedua sudut bibir ini. Meski hati merasa gelisah, mencoba berpikir keras, mencari titik terang sekaligus jalan keluar untuk melewati perkara ini.
Aku mengiyakan maksudnya, mencoba memberi kepastian akan segera terbayarnya SPP sekolah itu. Walau bukan besok, karena uang pensiunan Hubby sudah terpakai untuk biaya transfusi tadi. Satu-satunya harapan adalah menunggu cairnya gaji bulananku sebagai editor naskah di salah satu penerbitan. Mungkin dua atau tiga hari mendatang, semoga saja.
Seorang penulis lepas arau freelance writer, ya, itulah pekerjaan yang kugeluti saat ini. Rupiah yang dihasilkan pun lumayan sebenarnya, tapi masih belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Padahal, sudah dibantu uang pensiun bulanan. Belanja, uang jajan dan susu formula Kanza, SPP Reza, dan biaya transfusi. Semuanya harus bergantian dalam pemenuhan.
Kutatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong, sambil mencoba menepis keputusasaan yang mulai tumbuh.
Aku bisa, pasti, dan harus bisa!
Terus berjuang hingga titik darah penghabisan, mengantarkan anak-anakku hingga pintu kesuksesan, berbakti pada Hubby, menemaninya berjuang di masa-masa sulitnya kini. Mataku memanas, satu dua bulir bening menetes tanpa dipaksa. Aku beranjak, menuju si kecil yang pulas dengan tidur siangnya. Kuhempaskan tubuh mungil ini di samping Kanza, menyusulnya terlelap.
YOU ARE READING
UMI, SANG MALAIKAT BUMI
RomanceSarah, seorang wanita yang pada akhirnya harus berjuang seorang diri, ditinggal sang suami. Baginya, menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah. Belum lagi, bertubi-tubi kenyataan pahit menimpanya. Si kecil, Kanza, yang tenyata mewarisi thala...