Sudah 3 bulan atmosfer keluarga Kiai Alim diliputi kabut. Ashfa, putri sulung Kiai Alim dan Umi Halimah sedang menderita sakit keras. Segala macam ikhtiar sudah ditempuh. Sayangnya, dokter manapun tak mampu mendiagnosis penyakit yang diderita putrinya tersebut. Alih-alih menemukan obat penyembuh.
Satu malam saat Kiai Alim sedang muroja’ah hafalan Qurannya, suara berdebum tiba-tiba terdengar dari kamar Ning Ashfa. Kiai Alim dan Istrinya lekas menengok ke sumber suara. Saat pintu dibuka, Ning Ashfa sudah berada di lantai dalam keadaan kejang. Bibirnya biru. Seluruh badannya kaku dan dingin.
Tanpa pikir panjang, Kiai Alim segera memanggil Kang Nandar, salah satu santri ndalem untuk menyiapkan mobil, membawa Ning Ashfa ke rumah sakit terdekat. Yang dipanggil kebetulan sedang berada di dapur, menjerang air untuk keperluan mandi keluarga ndalem.
“Setelah kami melakukan pemeriksaan, kami tidak menemukan penyakit yang berarti dalam diri Ning Ashfa, Kiai,” ucap Dokter Bagus yang kebetulan dekat dengan keluarga Kiai Alim. “Dugaan sementara kejang tersebut timbul sebagai bentuk reaksi tubuh Ning Ashfa terhadap peningkatan suhu. Insyaallah segalanya akan baik-baik saja. Njenengan tidak perlu cemas. Ning Ashfa hanya butuh banyak istirahat. Saya permisi untuk memeriksa pasien yang lain dulu, Kiai. Mari.”
Ruang VIP itu lengang. Umi Halimah sejak tadi tidak beranjak dari sisi ranjang Ning Ashfa yang tertidur pulas.
“Abah pulang dulu saja, biar Umi yang menunggui Ashfa di sini. Abah harus ngimami jamaah subuh, kan?” ucap Umi Halimah lirih.
“Abah ingin tetap di sini, Mi. Abah takut terjadi apa-apa sama Ashfa.”
“Abah kan sudah mendengar sendiri ucapan Dokter Bagus barusan. Ashfa tidak kenapa-kenapa, Bah. Dia hanya butuh istirahat. Lagian Ashfa sedang tidur sekarang. Abah percaya, kan, kalau Umi bisa jaga Ashfa? Abah punya tanggung jawab besar terhadap santri-santri.”
Kiai Alim menarik napas dalam-dalam sambil memandangi istrinya. “Baiklah, Abah pulang dulu, ya, Mi. setelah halaqoh pagi Abah akan kembali sama Nandar. Umi mau dibawakan sarapan apa?”
“Tidak perlu repot-repot, Bah. Nanti Umi bisa cari di kantin bawah. Mintakan doa ke para santri saja untuk kesembuhan Ashfa ya, Bah.”
“Sejak kapan membawakan istri sarapan termasuk hal yang merepotkan, Mi?”
Senyum pertama Umi Halimah akhirnya mekar pagi ini. Meski hanya sekilas, tapi hal itu sudah sangat menentramkan hati Kiai Alim. Kiai Alim lalu mengangguk. Memberi isyarat bahwa dirinya akan pamit, meninggalkan Umi Halimah dan Ashfa berdua di rumah sakit.
Di jalan, Nandar yang sebenarnya juga sangat mencemaskan keadaan Ning Ashfa tidak berani bertanya apapun kepada Kiai Alim. Nandar tahu diri, dia hanya seorang santri. Tugasnya hanya khidmah dan mematuhi segala yang diperintahkan gurunya tersebut.
“Begitulah, Ndar. Abah sendiri heran. Seingat Abah, sejak kecil Ashfa sehat-sehat saja. Tumbuh ceria seperti teman-temannya. Lha kok akhir-akhir ini mendadak sering bolak-balik rumah sakit. Berbeda sekali dengan mendiang adiknya. Ali itu sejak brojol memang sudah gawan penyakit. Jadi saat Abah dapat kabar Ali masuk rumah sakit dan akhirnya harus berpulang Abah sudah tidak kaget. Meski sebagai seorang Bapak, ada bagian dari diri Abah yang teramat kehilangan. Kadang Abah sampai mikir, Ndar, Abah ini punya salah apa sehingga diuji oleh Gusti Allah seperti ini.”
Nandar hanya diam. Nandar takut menyinggung perasaan Kiai Alim jika nimbrung memberi tanggapan yang kurang tepat. Matanya awas menatap jalanan lengang di depannya. Baru pukul 3 pagi. Belum banyak kendaraan berlalu-lalang.
“Oh iya, besok Abah ada jadwal pengajian ke luar kota. Rencananya Abah akan pergi selama 3 hari. Kali ini Abah minta diantar Kang Salim saja. Kamu gantiin Abah ngimami jamaah dan ngisi pengaosan Abah di pondok, ya.”
Selama Abah tindakan (bepergian), Abah memang sering meminta Nandar untuk menjadi badal (ganti). Abah suka dengan sikap Nandar yang kalem tapi tegas. Perangainya bagus lagi cerdas. Nandar juga disegani para santri sebab termasuk santri senior. Terhitung sudah tiga belas tahun Nandar mondok di pesantren yang diasuh Kiai Alim. 9 tahun untuk menamatkan pendidikan sekolah diniyah, selebihnya untuk khidmah.
Selama ini Nandar tidak pernah menolak apapun yang diperintah oleh Kiai Alim, kecuali satu hal. Usia Nandar memang sudah hampir kepala tiga. Tapi setiap kali Kiai Alim mencoba menjodohkannya dengan salah satu santri putri, Nandar selalu menolak dengan halus. Alasannya dia masih ingin terus melayani Kiai Alim. Ingin memperoleh ilmu yang barokah sebab khidmah. Kiai Alim pun tidak dapat memaksa. Karena menikah memang bukan perkara sembarangan.
÷
Hari berganti minggu. Minggu memintal bulan. Sudah lewat satu tahun sejak Ning Ashfa pulang dari rumah sakit. Sepanjang itu Ning Ashfa memang tak lagi mendadak kejang seperti sebelumnya. Suhu badannya juga relatif stabil. Batuk pilek pun sudah tidak pernah bertandang. Hanya tubuhnya yang semakin ringkih. Kurus kering tanpa daging. Dalam sehari paling banyak hanya tiga suap bubur yang berhasil Ning Ashfa makan.
“Nduk Ashfa, satu suap lagi, ya. Tadi Umi sendiri loh yang masak buburnya. Ashfa mau menyenangkan hati Umi, kan? Ayo, kalau mau Umi senang, Ashfa buka mulut ya, Nak, ya.”
Bibir yang semula terkatup rapat itu sedikit terbuka. Umi Halimah menyuapkan bubur dengan air mata yang tak henti menggenang. Prihatin dengan keadaan putrinya. Ning Ashfa jadi sering melamun. Pandangannya kosong. meski tak pernah merespon dengan baik ketika diajak berbicara, Um Halimah yakin bahwa putrinya baik-baik saja. Umi Halimah menolak mentah-mentah saat Kiai Alim mengusulkan untuk membawa Ning Ashfa berobat ke psikiater karena rasanya hanya itu satu-satunya jenis pengobatan yang belum ditempuh.
Selama setahun terakhir pula, Kiai Alim rutin setiap malam Senin menggelar khotmil quran di ndalemnya untuk memohon kesembuhan Ning Ashfa kepada Gusti Allah. Jadwal pengajin ke luar kota juga mulai beliau kurangi. Urusan pondok beliau serahkan sepenuhnya kepada pengurus.
Satu sore Kiai Alim dan Umi Halimah tengah menyambut kunjungan Menteri Agama. Mereka tengah beramah tamah di ruang tengah selepas acara usai. Ning Ashfa yang sepanjang hari dijaga mbak-mbak santri tiba-tiba berteriak histeris. Sontak seisi rumah kaget tak terkecuali para tamu. Umi Halimah lekas menuju kamar sementara Kiai Alim melanjutkan menemani para tamu makan.
Umi Halimah panik sebab Ning Ashfa belum pernah seperti ini sebelumnya. Umi tidak tahu apa yang mesti dilakukan untuk kembali menenangkan Ning Ashfa. Satu sisi dalam diri Umi Halimah membenarkan saran Kiai Alim untuk membawa putrinya ke psikiater. Toh, psikiater bukanlah tempat untuk orang gila.
Umi Halimah mencoba memeluk Ning Ashfa tapi tangan tersebut ditangkis. Umi lalu memutar murottal Syaikh Sudais kesukaan Ning Ashfa namun teriakannya semakin menjadi. Umi sudah kehabisan akal. Di tengah kekalutan yang terjadi, saat Umi Halimah sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, saat suara Kang Nandar mengalun dari pengeras masjid pondok sebagai tanda masuk waktu magrib, saat itulah keajaiban terjadi.
Ning Ashfa tiba-tiba diam. Dia melangkah ke jendela sebelah kiri tempat tidur yang persis menghadap masjid. Tangan kanannya meraba kaca jendela sedang tangan kirinya menyangga dagu. Matanya berair. Menara masjid tampak menyembul kehitaman berlatar langit jingga. Ning Ashfa benar-benar terhanyut oleh lantunan azan itu.
Umi tidak kalah kaget dengan pemandangan yang ia lihat. Semakin heran dengan sikap putrinya. Beberapa menit lalu seperti seseorang yang kehilangan kendali, lalu sekarang didapati dalam keadaan seperti perindu yang menemukan obat untuk dahaga rindunya. Tapi syukurlah, setidaknya Ning Ashfa bisa tenang.
Selepas salat magrib berjamaah, rombongan kunjungan memohon diri untuk pamit. Kiai Alim mengutus Kang Nandar untuk mengantar sampai gerbang depan sebab dirinya ingin segera menengok keadaan Ning Ashfa.
“Bagaimana keadaan Ashfa, Mi?” tanya Kiai Alim setelah mereka berada di kamar.
“Aneh, Bah.”
“Aneh bagaimana maksud Umi?”
Umi Halimah menjelaskan setiap detail yang terjadi barusan tanpa kurang apapun.
Adzan berhenti. Ning Ashfa melangkah ke tempat tidur. Mbak-mbak yang sejak tadi berdiri di pojokan sigap membantu.
“Abah sebenarnya ingin membicarakan sesuatu kepada Umi.” Kata Kiai Alim setelah memastikan Ning Ashfa kembali tenang.
“Tentang apa, Bah?”
“Ashfa.”
“Umi juga ingin mengatakan sesuatu tentang Ashfa, Bah.”
“Ya Sudah, Umi duluan saja.”
“Tapi Abah janji untuk tidak marah, ya?”
Kiai Alim mengernyitkan dahi.
“Abah, Umi tahu yang akan Umi bicarakan ini akan bertentangan dengan prinsip yang Abah terapkan dalam keluarga kita selama ini. Untuk itu, Umi perlu mencari waktu yang tepat untuk mengatakan ini. Abah mau janji sama Umi?”
“Janji itu berat, Mi. Katakana saja apa yang ingin Umi sampaikan. Abah akan berusaha mengendalikan diri.”
Umi menghela napas dalam-dalam. Dipandanginya lelaki yang selama hampir 30 tahun menemani hidupnya itu. Rambutnya tak lagi hitam. Beban yang ditanggungnya tidaklah ringan. Umi sadar, sifat keras dalam mendidik putra-putrinya selama ini tidak lain demi kebaikan masa depan mereka. Juga untuk pesantren dan umat.
“Umi tidak mau Abah menunggu sampai uban yang sudah putih ini jadi semakin putih, kan, Mi?” goda Kiai Alim karena Umi tak kunjung menyampaikan apapun.
“Abah ini, Umi sedang serius, Bah.”
“Apakah Abah kelihatan sedang bercanda?”
Mereka berdua memang tidak pernah kehilangan keromantisan sejak awal menikah dalam segala situasi dan kondisi. Romantis yang sederhana.
“Tempo hari saat Mbak-Mbak membersihkan kamar Ashfa, Mbak-Mbak menemukan ini, Bah.” Umi menyodorkan sebuah buku yang sejak tadi disimpan di saku gamisnya.
“Buku diary?”
Umi mengangguk.
“Milik Ashfa?”
Umi mengangguk lagi.
“Boleh Abah baca?”
“Memang itu tujuan Umi menunjukkan ini.”
Kiai Alim lalu membuka lembar pertama buku itu.
“Bah …”
Kiai Alim menoleh.
“Apapun yang Abah baca nanti. Umi mohon Abah jangan marah, ya.” Raut Umi Halimah pucat. Takut kalau-kalau reaksi yang diberikan Abah tidak seperti yang diharapkan.