Pagi ini tidak seindah biasanya; sedikit mendung, tapi tidak gerimis apalagi hujan. Setidaknya cuaca pagi ini meneduhkan bagi mereka yang ingin istirahat atau pun bepergian karena hari libur. Ibu-ibu berkumpul di depan pagar rumah Jennie karena tetangga barunya. Mereka berbisik-bisik goda melihat si lelaki tampan yang sedang memasukkan barang ke dalam rumahnya.
"Duuuh, ganteng banget dia."
"Kok bisa, ya, ada anak setampan ini?"
"Mungkin orang tuanya pejabat, jadi dia rutin merawat dirinya."
"Iya juga, sih. Rumah sebesar itu hanya ditempatinya seorang diri, tanpa keluarga yang lain. Kaya banget dong keluarganya."
"Cocok jadi menantu aku."
"Aduuuh jangan ke-PD-an gitu dong, Bu. Memang dia mau sama anak Ibu?" Suara Jennie muncul dari belakang para ibu-ibu yang bergosip.
"Maksud kamu apaan, Jen? Kamu menghina anak saya?"
"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja, dia itu jodohnya adik saya," jawab Jennie mantap.
"Tammy? Kamu tidak salah? Siapa yang mau sama anak yang tidak pernah berbicara dan beramah tamah dengan orang lain?"
"Ibu kenapa malah ngata-ngatain adik saya?" emosi Jennie seketika naik.
"Saya tidak ngatain adik kamu. Saya berbicara fakta."
"Benar itu. Semua juga tahu adik kamu seperti apa," sahut ibu yang lainnya.
"Mungkin para lelaki akan berpikir ribuan kali untuk mau dengan adik kamu."
"Takut akan didiamkan seumur hidupnya."
Jennie mendengus kasar mendengar segala macam rupa kalimat buruk yang keluar dari mulut para biang gosip ini untuk adiknya.
"Dasar tukang gosip!" ketus Jennie kasar tanpa ditanggapi oleh ibu-ibu.
Jennie pergi meninggalkan mereka karena tidak sanggup mendengar kalimat pedas untuk adiknya. Jika ia berdiri lebih lama dan mendengar lebih banyak kalimat yang keluar, ditakutkan akan terjadinya pertumpahan darah pada ibu-ibu itu. Jennie dulunya seorang atlet taekwondo dengan sabuk merah strip hitam 1. Siapa saja yang membuatnya marah, tidak segan-segan untuk diberi jurus. Jennie terlalu mudah emosi, terutama jika hal itu berkaitan dengan Tammy, adiknya. Tidak akan ada ampun bagi mereka yang mencela adiknya.
Karena kekesalannya, Jennie tidak sengaja menabrak seorang perempuan yang sedang mengangkat kardus terakhir, hingga terjatuh.
"Duh, maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Kamu luka? Ada berdarah? Mau aku obati??" tanyanya penuh sesal.
"Tidak apa. Aku baik-baik saja," jawab perempuan itu ramah.
"Kamu penghuni baru rumah ini ya?"
"Bukan aku, tapi adik iparku. Nah, itu dia." Menunjuk ke arah sosok yang keluar dari pintu.
"Hai. Aku Jennie, pemilik rumah depan. Salam kenal tetangga baru." Jennie memperkenalkan dirinya dengan sangat ramah serta mengulurkan tangannya.
Gavin tidak mengabaikan uluran itu begitu saja. "Aku Gavin. Ini kakak iparku, Melika. Kuharap kita bisa akrab sebagai tetangga."
"Tentu. Kita akan akrab. Pasti," ucap Jennie bermain mata.
Gavin tersenyum melihat sambutan yang baik dari Jennie. Gavin berharap ini menjadi permulaan yang baik untuk semuanya. Ia melihat Jennie lekat. Perempuan ini tampak begitu kuat, meski sebenarnya mungkin rapuh. Gavin membuat janji pada dirinya sendiri saat melihat perempuan tersebut tersenyum.
"Kamu kenapa lihatin aku gitu?" tanya Jennie, risih dengan tatapan Gavin.
"Aku senang aja, bisa ketemu sama pembawa berita favorit aku," bohongnya. Ia bahkan tidak suka menonton berita. Beruntung kemarin Tasya memberitahunya tentang profesi perempuan ini.
"Oh ya?? Jadi kamu penggemarku?? Sungguh tidak kusangka. Berbahagialah karena kamu bertetangga dengan idolamu," ujar Jennie bangga.
"Pasti. Aku sangat bahagia memiliki tetangga sepertimu, Kak."
"Akan kukenalkan kamu pada adikku."
"Adik?" Lagi, Gavin pura-pura tidak tahu.
"Ya, aku punya adik. Aku yakin kamu akan menyukainya. Dia cantik dan sangat baik," pujinya.
"Jika Kakak berkata begitu, aku pasti akan sangat menyukainya."
"Oh, kamu tetangga yang menyenangkan. Kalau begitu, aku pamit dulu. Anakku pasti mencari sedari tadi." Jennie segera memutarbalikkan badan dengan aura bahagia. Tidak sabar ingin bercerita pada Tammy.
Gavin melihat punggung Jennie yang berlalu menuju rumahnya. Ia menatap ke atas, pada jendela yang terbuka dan gorden yang sesekali menyelinap ke luar. Kamar itu sepertinya kosong, ke mana penghuninya?
***
"Tammy...." teriaknya.
Ia menemui adiknya di teras atas rumah. Pada hari libur Tammy memang tidak keluar rumah. Ia memilih untuk berdiam diri di rumah seharian. Menghabiskan waktu di teras rumah, sambil melihat tanaman. Teras atas rumah memang dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman. Tammy yang menanamnya. Ia sangat mencintai bunga. Baginya, bunga adalah lukisan terindah dalam wujud nyata. Bunga memiliki keindahan dari Sang Pencipta yang tiada duanya.
"Lelaki itu benar-benar tampan. Dia sangat senang bertetangga dengan kita. Dia bilang, dia akan sangat menyukaimu. Dan ini hal paling penting, kamu harus dengar. Dia adalah penggemarku! Kakak adalah pembawa berita yang sangat dikaguminya," cerocos Jennie dengan elu.
"Tidak penting."
Dua kata yang merubah ekpresi Jennie menjadi begitu buruk.
"Kamu sangat tidak bisa membahagiakan orang lain. Sesekali itu jawab, 'Ah sungguhkah? Setampan apa dia? Aku juga ingin melihatnya.' Gimana kamu akan ketemu pasangan kalau kamu sedingin ini?" protes Jennie.
"Aku tidak tertarik."
Jennie menggeram melihat adiknya yang sangat datar. Menjawab tanpa menoleh padanya, hanya fokus pada tanaman yang sedang dibersihkan. Jennie benar-benar kehabisan akal untuk adiknya. Cara apalagi yang harus dilakukan agar adiknya kembali menjadi periang seperti waktu kecil? Haruskah ia menggunakan Gavin?
"Sebentar, aku seperti mengenal nama itu," gumam Jennie seorang diri, mencoba mengingat.
"Ah, bukankah begitu banyak nama yang sama di muka bumi ini dengan wajah berbeda?" sambungnya mengabaikan pemikiran yang ingin dilupakan.
👣👣👣
Untuk yang mau baca lebih cepat, bisa ke akun Karya Karsa ku ya. Di sana udah up sampe chapter 10. Dan hari ini akan up chapter 11-15 nya.
👣👣👣
KAMU SEDANG MEMBACA
S[talk]eR
Mystery / Thriller🍁Misteri-Thriller🍁 Tammy, perempuan berpola dingin yang enggan mengikuti lingkungannya. Ia memiliki lingkungan sendiri yang hanya terdiri atas dirinya. Tidak mudah untuk mengajaknya berkomunikasi, bahkan mungkin memang tidak bisa. Bukan karena ia...