04. Surat

534 131 75
                                    

     Malam ini aku mengambil sebuah buku harianku yang sudah aku modif sendiri sesuai seleraku; unik. Aku baru ingat, surat pemberian adik kelas itu masih tersimpan di dalam saku seragamku. Aku mengambilnya dan aku membacanya sambil berbaring di atas kasur empuk milikku.

Kepada : Felicya

Namaku Naufal, Naufal Maulabi. Masih ingat aku dong! Pengumuman hasil tes kemarin sudah aku terima lapang dada. Aku masuk jurusan IPA, sama seperti Kak Icha. Kalau Kak Icha mau cari aku, sekarang aku masuk ke kelas 10 IPA 1. Terima kasih, Kak Icha sudah mau menemaniku sewaktu di UKS.

Salam maaf dariku, Naufal.

     Kira-kira begitulah isi suratnya. Aku mengernyit, ternyata yang membuat surat itu adalah Naufal. Saat itu dipikiranku hanya Naufal, untuk apa dia memberitahu informasi yang sama sekali tidak ingin aku ketahui? Dia memberi surat yang isinya hanya pemberitahuan tentang dirinya yang masuk ke kelas IPA. Memang aneh.

“Nih anak gila kali, ya! Dia kira gue bakal cari dia ke kelasnya, gitu?” Aku rasa kalian tahu mengapa aku begitu, terlebih berbicara kepada diri sendiri.

     Aku menyimpan lembar kertas itu di sampingku, karena aku sedang ingin membuka kembali buku harian favorite ku. Tapi, rasanya aku hanya ingin membayangkan tentang si adik kelas menyebalkan itu; Naufal Maulabi. Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum mengingatnya. Mengingat waktu kali pertama bertemu di UKS, dan sewaktu dia menjalankan hukuman di depan kelas.

“Lucu—” gumamku saat mengingat kejadian di depan kelas. Tetapi, yang membuat aku aneh itu sikapnya yang terlalu baik.

     Atau mungkin aku saja yang belum mengenalnya, dia belum tentu baik. Arkan yang aku kenal selama bertahun-tahun saja sifatnya pemarah, bahkan bisa dibilang pendendam. Aku harus pintar menilai seseorang dan tidak menilainya hanya dari luar.

     Malam ini terasa sepi, dingin, tetapi menenangkan. Meskipun jendela kamar serta pintu tertutup rapat, hembusan angin malam tetap saja menyelimuti tubuhku. Aku segera menarik selimut agar menutupi semua tubuhku, kecuali wajah.

     Aku selalu membuka buku harianku setiap hari sebelum tidur, terkadang aku juga menulis terlebih dahulu jika memang ada sesuatu yang ingin dan perlu aku tulis.

     Surat yang aku terima dari Naufal tidak berguna sama sekali. Itu tidak penting. Rasanya ingin aku buang ke tempat sampah, nun ada sesuatu yang mendorongku untuk menyimpannya di dalam buku harian. Biarkan, ini hanya secarik kertas. Dan semoga dengan adanya surat dari Naufal, tidak membawa petaka bagiku.

---0---

     Aku berjalan melewati koridor dengan membawa buku cerita yang aku pinjam dari perpustakaan. Aku sengaja pinjam untuk membaca di jam-jam kosong waktu aku menjadi panitia MOS kemarin. Aku meminjam buku novel yang berjudul 'Setetes Air Mata For Just Bunda'. Aku memang suka membaca apalagi membaca buku novel-novel atau cerpen. Baiklah, sekarang aku sudah memasuki ruangan perpustakaan.

     Udara disini lumayan dingin karena adanya AC, tetapi aku suka dengan tempat-tempat dingin seperti perpustakaan tercintaku ini. Para murid akan menjadi lebih nyaman ketika berkunjung ke sini, atau akan menjadi tempat favorite bagi murid yang suka membaca termasuk aku salah satunya. Selain UKS yang menjadi markas ketika jenuh, aku selalu berkunjung ke sini untuk sekedar membaca atau hanya ingin numpang bersantai-santai saja.

Naufal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang