23. Pernyataan Tegas

18 2 0
                                    

Akhirnya setelah perbincangan yang panjang dengan bapak tadi. Aku memutuskan untuk menghubungi Nathan dan menjelaskan yang sebenarnya. Terutama mengenai perasaanku yang sejujurnya padanya. Juga apa yang selama ini menjadi keraguanku untuk sepenuh hati menerima kehadirannya. Aku harap itu tidak lantas menjadi luka yang akhirnya membuat dia memutuskan pergi dariku. Sekalipun aku tahu alasan ini pasti akan menyakitkan baginya. Tetapi aku berharap dia mau memaklumi bahwa saat ini aku sedang mencoba berdamai dengan luka dan diriku sendiri.

Sekalipun ini beresiko tetapi aku merasa aku memang harus mencobanya. Jika tidak, mungkin aku tidak akan pernah benar-benar menemukan seseorang yang memang digariskan sejak awal menjadi temanku yang paling tulus. Mau berbagi suka dan duka bersama. Terlebih dia bisa menerimaku dengan segala luka yang pernah ada. Aku bukan manusia yang sempurna. Tetapi dari proses jatuh bangun aku terus mencoba menjadi yang terbaik dari yang aku bisa.

Maka ketika aku mulai melihat sosok Nathan yang menenteng dua gelas kopi kesukaan kami. Aku perlahan mulai mempersiapkan diri bercerita tentang apa yang aku rasa padanya. Juga mempertanyakan bagaimana sebenarnya perasaannya padaku. Karena aku sendiri mulai menyadari kalau aku tak bisa selamanya lari. Karena pada akhirnya aku hanya akan melukai diriku sendiri. Tambahku dalam hati.

Jadi aku sudah memutuskan dengan tekat yang bulat aku akan mengutarakan yang sejujurnya. Kataku pada diri sendiri.

"Jadi, ada apa?" tanya Nathan begitu mengambil posisi duduk disebelahku.

"Emm... Nathan kamu tau aku bukan orang yang pandai berbasa-basi. Jadi aku akan ngomong langsung. Kalau sebenarnya aku.... Aku...." Aduh mendadak macet!

"Jadi sebenarnya selama ini aku merasa senang bisa mengenalmu. Terlebih aku jadi lebih bersemangat menjalani hariku karena aku merasa memiliki seseorang yang bisa aku ajak berbagi bersama mengenai hal-hal baik yang memang aku anggap layak untuk dibagi. Tapi, maaf kalau mungkin aku.... Eee... Aku.... Aku...." macet lagi... Hadeh...

"Emm.. Rebeca maaf kalau mungkin aku menyela. Ya, memang sebenarnya aku seharusnya mengatakan lebih jelas kalau aku. Sebenarnya menyukaimu. Hanya saja aku terlalu takut untuk mengatakan itu secara terus terang karena aku tak ingin melukaimu dengan perasaanku." katanya

"Apa? Mana.. Mana mungkin begitu. Karena sebenarnya sejak awal memang aku memiliki rasa itu padamu." kataku akhirnya.

"Jadi apakah... Apakah... Apakah ini artinya...." kataku mulai terbata lagi...

"Iya, jadi memang apakah artinya kita akan memulai sebuah lembaran baru Rebeca?" tanya Nathan memperjelas kalimatku yang terbata.

Aku diam sejenak memandang wajahnya. Karena aku kira, memang ini sudah waktunya bagiku mempertanyakan yang sejujurnya.

"Tapi Nathan, ada satu hal yang tidak kamu tahu atau mungkin memang kamu tahu, atau juga belum kamu sadari kalau. Kalau aku ini pribumi." kataku lagi...

"Apa maksudmu dengan kamu pribumi? Rebeca apa yang saat ini sedang kamu permasalahkan?" tanyanya.

"Jadi sebenarnya jauh sebelum aku kenal kamu. Aku pernah, menjalin hubungan dengan orang yang sepertimu. Awalnya semua berjalan lancar tetapi akhirnya kami putus hanya karena aku ini seorang pribumi. Aku... Sejujurnya aku masih memyimpan trauma akan hal itu. Aku takut jika seseorang tidak bisa melihat satu hal baik yang mungkin bisa menjadi alasan kami bersama. Hanya karena masih mempermasalahkan warna kulit yang berbeda." kataku singkat

"Jadi kamu pribumi? Tapi ya, harus aku akui meski warna kulitmu tidak sama denganku. Kamu terlihat persis sepertiku dari cara pola pikir dan ya aku sedikit terkejut sebenarnya." katanya

"Lalu apakah kamu mempermasalahkan itu?" tanyaku meragu

"Kalau kamu bertanya apakah aku mempermasalahkan itu sejujurnya tidak. Hanya saja memang aku sedikit ragu apakah kluargaku bisa menerima. Tetapi terlepas dari hal itu, aku rasa kita hanya perlu menunjukkan hal baik yang memang ingin kita perjuangkan bersama. Karena aku merasa orang terdekat pasti berharap kita mendapatkan pasangan yang terbaik dan kalau memang itu yang mereka mau yang perlu kita lakukan hanyalah menunjukkannya." katanya lagi...

"Jadi kamu tidak keberatan dengan hal itu?" tanyaku masih meragu

"Ya, kalau kamu merasa tidak yakin. Kamu hanya perlu mencobaku untuk membuktikannya." jawabnya menggoda.

"Kamu bukan makanan untuk apa dicicipi. Hanya perlu dipastikan, tapi apa betul kamu bisa memberi kepastian itu?" tanyaku meragu.

"Yah, bagaimana kamu bisa tahu kalau hatimu masih di masalalu dan belum kamu arahkan seutuhnya padaku." katanya mulai menggoda lagi.

"Yah, harus aku akui kamu perayu yang handal." kataku.

"Tapi kamu yang memancing memang untuk dirayu." katanya lagi

"Ya, aku rasa aku memang harus membuktikan omonganmu Nathan. Karena kamu, bagiku adalah tantangan yang harus ditaklukkan."
Kataku...

"Aku merasa sedih kalau hanya sekedar menjadi tantangan. Karena aku selalu berharap bisa memjadi rumah tempat kamu kembali percaya pada dirimu sendiri. Entah kamu sama sepertiku ataupun seorang pribumi. Aku berharap kamu akan selalu tahu kalau kamu adalah orang yang aku cintai dengan sepenuh hati." katanya...

"Apakah trauma masalaluku membuatku terlihat menyedihkan Nathan?" tanyaku

"Rebeca, dimataku kamu adalah orang yang tulus dalam cinta. Karena hanya merka yang sungguh tulus maka bisa merasa terluka oleh cinta. Tetapi lebih dari itu aku melihat kamu sebagai orang yang tulus, karena kamu percaya bahwa pernah terluka bukanlah akhir untuk mempercayai cinta, dan tetap menjadikan cinta itu alasan untuk kamu tetap bertahan. Meski itu terdengar naif, tapi aku mau menjadi orang yang meyakinkanmu kalau kamu tidak pernah salah meyakini itu." katanya.

"Jadi, apakah ini artinya kamu memang jawaban atas keyakinanku?" tanyaku

"Tergantung apakah kamu akan menjawab iya untuk itu."

Aku langsung menghambur memeluk Nathan erat disambut dengan pelukan hangat. Aku tak menyangka jika ternyata kejujuran tak akan seburuk ini jadinya....

The End

Ya, saudara-saudara. Setelah berputar-putar panjang akhirnya kita sampai pada chapter akhir. Dimana kita belajar bahwa kalau suka itu ya ngomong terang-terangan. Kalau sesuatu yang kamu suka aja tidak bisa kami ungkapkan dengan jelas. Gimana bisa mempertanyakan kejelasan hubungan, kan semua serba nggantung. So lepaskanlah beban masalalu dan biarkan cinta baru menyambutmu.

Salam seseorang yang sedang belajar memaafkan masalalu


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Filosofi Pasangan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang