Biarlah jadi prolog

71 4 12
                                    


Pagi merangkak begitu lambat. Tak seperti biasanya aku bangun se-awal ini. Untuk parameter anak kelas 3 SMA, aku adalah anak termalas ketimbang 3 saudaraku. Apalagi jika dibandingkan dengan kakak pertamaku. Tapi tidak untuk hari ini.

Ku sapa tetes embun dan ringing suara jangkrik sambil lari-lari mengelilingi komplek rumah. Gelap dan dingin masih saja membalut fajar. Begitu juga lampu teras tetanggga masih dibiarkan menyala. Aku heran. Entah kenapa kurasa fajar enggan melepas kodratnya. Apakah pagi masih belum siap untuk menampakkan diri kepada semesta? Entahlah. Mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin aku yang terlalu bangun dini. Atau mungkin juga, karena ketidaksabaranku yang menggebu untuk bertemu dengan kamu. Dalam dunia ini banyak sekali kemungkinan bukan?

***

Kemarin kita (aku dan kamu) telah menyelesaikan tugas kelompok fisika yang rencananya akan kita presentasikan hari ini. Sebenarnya, kelompok kita memiliki lima anggota. Tapi entah kenapa tiga anggota lainnya paling suka kalau pulang lebih dahulu. Selalu seperti itu. Aku memang tidak bisa memaksa mereka jika tugas ini harus dikerjakan bersama. Kalau mungkin di rumah mereka sana ada pekerjaan yang lebih penting ketimbang pengerjaan tugas ini, ya tidak apa-apa. Begitupun jika mereka memang malas untuk mengerjakan tugas ini, dan memilih pulang, aku juga tidak keberatan. Aku bukan tipe manusia pemaksa. Toh, dengan mereka pulang duluan aku malah lebih senang. Dengan begitu, aku benar-benar hanya berdua dengan kamu. Maksudku untuk mengerjakan tugas tersebut. Kuharap jika kita terpilih sebagai satu kelompok lagi, kejadian seperti ini dapat terulang kembali. Eh, kamu tidak keberatan kan, mengerjakan tugas kelompok meski hanya dengan aku? Semoga kamu juga sependapat.

Jadi tugas fisika tersebut berupa pembuatan power point tentang materi listrik dinamis. Memang benar, kamu yang berperan paling dominan dalam pembuatan power point tersebut. Mulai dari mencari sumber materi, mengedit dan memberi animasi. Sedangkan tugasku memberi masukan atau pendapat saat kau tanya. Meski semua masukanku tidak bermanfaat. Dan kamu mengangguk angguk seolah memahami apa yang terlontar dari mulutku. Aku sendiri tidak paham apa yang aku katakan.

Selain dari pada itu, tugasku adalah menikmati keidahan yang ada pada dirimu. Ditengah lentik jemarimu yang terus menari di papan laptop itu, aku yang berada di seberang meja terus mengamatimu. Kuperhatikan tekstur wajah yang cantik dan ranum bibir tanpa polesan lipstik. Sangat menarik. Aku menikmati detik-detik yang hilir saat itu.

***

Selepas mandi dan seragam yang telah terkemas rapi di badan, aku menuju meja sarapan. Secepat kilat, sarapan kutuntaskan dan langsung berangkat sekolah tanpa berpamitan. Anak durhaka memang. Andaikan ibu memiliki kekuatan layaknya ibu malin kundang, sudah lama mungkin aku jadi batu. Aku adalah anak satu-satunya yang tidak tahu etika, tatakrama dan aturan. Hanya aku anaknya yang berani membantah perkataannya. Disisi lain ibu mematung heran, baru kali ini bungsunya berangkat se-pagi ini. Berpaikan rapi pula.

Jarum panjang jam dinding menunjuk angka 12 sedang jarum pendeknya berhenti di angka 6 mulai aku pacu sepeda motorku.

Tepat pukul 06:14, Sepeda motorku telah terparkir rapi. Tidak sulit memarkirkannya sebab baru ada barangkali 4 atau 5 sepedara motor di parkiran tersebut. Perkiraanku salah. Ku kira, aku satu-satunya siswa yang berangkat sekolah se-pagi ini. Nyatanya sudah ada kendaraan yang telah terparkir duluan sebelum aku datang. Orang gila macam apa yang bisa berangkat se-pagi itu? Ujarku dalam hati.

Suasana berbeda sekarang. Parkiran sudah mulai penuh dan berisik. Beberapa siswa memilih langsung menuju kelas masing-masing selepas memarkirkan sepeda motornya. Ada juga yang memilih untuk berbincang-bincang dahulu di parkiran. Begitu juga dengan teman-temanku satu kelas. Kami yang paling berisik disini. Pasalnya, kami enggan masuk kelas sebelum bel masuk dibunyikan. Akan selalu ada saja yang dibicarakan dan diributkan. Akhirnya tetap sama. Kami semua tenggelam dalam canda tawa. Itulah alasan kami senang berlama-lama di tempat parkir.

Aku yang sedari tadi menduduki kendaraanku kian makin resah. Tanda-tanda kemunculanmu masih belum ada. Biasanya kamu datang pukul 06:35. Tapi sampai sekarang, pukul 06:50, sosokmu belum juga kutemukan. Kendaraanmu juga belum ada disini. Apakah kamu berangkat sekolah diantar hari ini? Apakah hari ini kamu tidak masuk sekolah? Atau sedang terjadi apa-apa dalam perjalananmu menuju kesini? Semua pertanyaan tersebut membuat keringatku meluncur semakin deras.

Bersamaan dengan bel masuk kelas nyaring mengudara, teman-teman mengajakku untuk meninggalkan parkiran. Dengan berat langkah, aku mengikuti mereka pelan-pelan dari belakang. Berharap kamu datang telat. Lalu tiba-tiba dari luar, kudengar sayup suara mesin kendaraanmu yang semakin lama semakin jelas. Seketika semangatku kembali membara. Setelah suara tersebut memasuki wilayah tempat parkir, ku toleh ke belakang. Ternyata bukan kamu. Seorang siswa laki-laki terburu-buru memarkirkan kendaraannya. Aku tidak kenal siapa dia. Hanya saja kendaraan yang sedang diparkirkannya, sama seperti kendaraan yang kau bawa ke sekolah setiap harinya. Langkahku kembali berlanjut.

EntahlahWhere stories live. Discover now