"Bayu Azka Raffasya, aku mencintaimu karena Allah."****
Ilya termenung sembari menunggu makanannya datang. Kantin begitu ramai dengan orang-orang yang kelaparan. Karena tak adanya kursi di dekat orang yang sedang menjajahkan dagangan. Akhirnya Ilya memilih kursi yang jauh dari keramaian. Hingga seseorang menepuk pundaknya, membuat ia sedikit tersentak.
"Hai," sapa seseorang yang kemudian duduk tepat di hadapan Ilya.
"Hai, Zal." Ilya memperlihatkan senyum manisnya pada Mifzal.
"Halo semua, makanan sudah datang," ucap Sely seraya membawa nampan dengan tiga buah mangkok di atasnya.
Cacing-cacing di perut Ilya sudah tak bisa diam, terus merengek meminta nutrisi dari tubuhnya. Ilya mengambil mangkok miliknya dan segera menyantap makanannya dengan lahap. Ia tak peduli dengan tatapan sahabat-sahabatnya yang mulai merasa heran dengan kelakuannya.
"Lya, makannya pelan-pelan," anjur Mifzal.
"Lya, lo makan pelan-pelan dong. Kayak nggak makan setahun aja lo." Sely hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah laku Ilya yang di luar batas normal.
Ilya mengunyah dengan cepat bakso yang berada di mulutnya, dan menyeruput minumannya hingga tersisa setengah gelas. Kata-kata yang ingin Ilya keluarkan seperti tertahan di kerongkongannya, disebabkan bakso yang belum selesai ia kunyah.
"Sel," panggil Ilya.
"Hm," balas Sely yang masih mengunyah bakso di mulutnya.
"Kemarin gue ketemu cowok, ganteng lagi."
Sely membulatkan matanya, ia tak percaya pada apa yang dikatakan Ilya. Pantas saja perilakunya sedikit berubah sejak tadi pagi. Mulai dari senyum-seyum sendiri, hingga berkelakuan aneh.
Sely yang masih ternganga dengan pernyataan Ilya tak bisa berkata apa-apa. Karena selama ini Ilya tak pernah tertarik membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan cowok. Tapi kali ini dia memulai obrolannya dengan kata cowok, benar-benar perempuan yang sulit ditebak.
"Lya lo serius, lo lagi nggak sakitkan?" Sely menggapai kening Ilya, untuk memastikan apakah sahabatnya ini baik-baik saja.
Ilya yang semula diam, menepis halus tangan Sely. Ia tak suka diperlakukan seperti anak kecil. Sahabatnya ini memang tak pernah memperhatikan waktu dan tempat, di mana dia harus terkejut, dan di mana dia harus berperilaku seperti ibu-ibu.
"Gue, serius Sel." Ilya menggeser mangkok baksonya, ke samping kanan. Isi di dalam mangkok itu sudah tak tersisa.
"Ketemu di mana?" tanya Sely yang mulai tertarik dengan pembicaraan Ilya.
Ilya menatap Sely, yang rupanya sedang dilanda rasa penasaran dengan cerita yang akan ia sampaikan. Arasely Putri Mashel, nama panjang dari gadis yang tengah menatap Ilya dengan mata berbinar-binar.
"Di masjid Al-Jabar." Memikirkannya saja membuat Ilya merasa senang, dari mulai senyumnya sampai tawanya.
"Al-Jabar? Masjid yang baru selesai dibangun itu?" Rasa penasaran Sely sudah tidak dapat dibendung lagi.
Sungguh Sely sangat senang karena Ilya sudah bisa membuka hatinya untuk orang lain. Karena selama Sely menjadi sahabat Ilya, dia tak pernah sekalipun melihat Ilya yang tertarik dengan seorang cowok.
Ilya hanya mengangguk seraya menghabiskan minumnya hingga tuntas. "Siapa namanya?" tanya Sely.
Ilya termenung mengingat-ingat nama laki-laki yang ia temui di masjid kemarin. Namanya terdengar seperti nama air dalam bahasa jawa. Ingatan Ilya sangat lemah, ia lebih pandai mengingat wajah dari pada nama. Sekelebat ingatannya tentang secarik kertas, mampu mengingatkannya pada nama laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersama Imamku
Narrativa generaleTamat (Part Masih Lengkap) Mungkin aku terlalu egois dalam memendam sebuah perasaan. Perasaan yang sebenarnya tak pantas aku miliki. Aku yang begitu suram bisa-bisanya menyukai cahaya terang. Kini apa yang bisa kulakukan, menggenggam angin dan memba...