30 | Cafe Edelweis

628 31 0
                                    


Rai terlentang di kasurnya memandang gantungan kunci bentuk panda yang ia belikan untuk Raina tepat seminggu sesudah mereka ke pasar malam saat itu. Namun ia belum juga memberinya.

Kemarin saat menemukan Raina di gudang, ia tau betapa terlukanya Raina saat mendengar isakannya. Sebenarnya dia sudah lama disitu sejak mendengar isakan dari orang yang dia kenal, ia ingin masuk namun urung karena takut membuat perempuan itu bertambah sedih.

Notifikasi khas Line berdering dari ponselnya.

Windy Fahira
Gue bilang ke dia, kalo lo itu Dika. Orang yang sampe sekarang msh gue sayang.

Itu balasan Windy setelah beberapa menit yang lalu Rai menanyakan masalah Raina hingga dia menangis seperti itudi gudang. Rai menghela nafas, dia tau itu karena dia juga sama seperti, sama-sama masih memiliki perasaan yang sama.

Seharusnya dia tidak perlu mendekati Raina berlebihan, karena memang tujuan awalnya mendekati Raina adalah untuk kembali dekat dengan Windy. Dia tak seharusnya membuat Raina jatuh cinta padanya, itu terlihat jelas saat matanya menatap mata Rai.

Ia menyimpan kembali gantungan ponsel itu kemudian menelpon Windy.

"Gue mau ketemuan sama lo," katanya setelah perempuan diseberang sana mengangkat teleponnya.

"Sekarang?"

"Nanti gue kasi tau kapan waktunya, dan lo nggak boleh nolak."

Rai memutuskan telepon itu sepihak. Ia harus bilang semua tentang Raina ke perempuan itu, semuanya.

~®w~

Sejak dia beranjak dari sofa tadi dia sudah bertekad untuk pergi dari rumah itu, sesampainya di kamar dia langsung meraih koper dan memasukkan beberapa baju dan peralatannya.

Kopernya dia isi dengan segala baju, laptop dan beberapa sepatu sedangkan ranselnya dia isi dengan buku pelajaran.

Sebelum itu dia sudah memutuskan dimana dia akan menginap. Rumah masa kecilnya menjadi pilihannya, rumah yang hanya memiliki satu lantai di sebuah gang, namun, menjadi tempat ternyamannya sewaktu kecil.

Setelah memasukkan semua barang-barangnya Raina menemui Bi Nani—asisten rumah tangganya. Meminta kunci gudang dan mengambil kunci rumah itu di laci lemari yang ada di gudang.

Raina tak langsung beranjak ke sana, dia memilih mencari ketenangan sebelum itu. Dan disinilah ia sekarang, berada di tempat yang sering dia datangi dan Windy dulu.

Edelweis Cafe.

Oh iya, soal Nata. Sejak selesai lomba kemarin Raina benar-benar memohon agar tidak menemuinya lagi, ia lebih ingin menghargai Windy daripada perasaannya. Semoga Nata mengerti.

Sejak hot milk chocolate pesanannya tadi datang dia masih belum berniat meminumnya. Kejadian tadi terbayang lagi.

Air matanya menetes kemudian terisak pelan. Untung cafe ini sudah sepi. Matanya menutup lama, menarik nafas dan berusaha meredakan isakannya. Dan lagi-lagi dia gagal.

Seberusaha apapun dia meredakan isakannya, penyebab kesedihannya pun ikut kembali hadir di pikirannya berkali kali.

Buka lah matamu ... selebar dunia ini

Dan rasakan banyak orang yang perduli

Jangan ingat lahi jangan kau sesali .....

Ada aku disini

Tak perlu membuka mata untuk Raina tau siapa yang bernyanyi di depannya ini. Lagu ini, entah kenapa selalu membuatnya lebih tenang, mungkin itu juga yang dirasakan oleh sahabatnya.

"Rain ...," panggil seseorang di depannya ini.

Raina membuka mata mendapati Arda yang tersenyum ke arahnya. Dengan segelas classic milk tea ditangannya.

"Lo nangis?" katanya. "Terus lo ngapain bawa koper? Mau pergi?"

Raina tersenyum getir kemudian menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa," katanya.

Arda menatapnya intens meskipun Raina mengulang kata 'aku nggak papa' padanya. Namun, ia tak mungkin percaya secepat itu, 'kan?

Tadinya Arda ingin menanyakan mengenai jawaban Raina setelah ia mengungkapkan perasaannya kepada gadis ini, namun, ia urung karena keadaannya sekarang benar-benar tidak pas.

"Lo kalau mau cerita ke gue aja, gue siap jadi pendengar setia lo." Ia sedikit memajukan tubuhnya ke arah Raina.

Perempuan itu membuka mulut namun ditutupnya lagi, tidak tau harus mulai dari mana untuk ceritanya. Akhirnya Raina menghela nafas kasar, kemudian memulai cerita dari awal dia mengenal Nata dan menjauhnya Windy.

Cerita mengalir begitu saja, sesekali dia terisak dan berhenti sebentar untuk meredakan tangisnya. Ia melanjutkan cerita setelah tangisnya reda.

Mendengar cerita Raina dia ikut merasakan kepedihan disetiap kalimatnya, satu per satu hingga sampai pada orang tua nya yang memutuskan untuk bercerai.

"Aku juga minta sama Kak Arda jauhin aku setelah ini." Raina lagi-lagi terisak, menghapus air matanya lalu melanjutkan kalimat. "Maafin aku, Kak ... ini demi Windy."

Apakah ini sebuah penolakan atas permintaannya di taman waktu itu? Arda terdiam, kemudian tersenyum getir. "Nggak papa, gue ngerti." Ia melihat hot milk chocolate milik Raina yang belum disentuh. "Minum hot milk chocolate nya, abis itu gue antar pulang."

Perempuan itu menggeleng cepat. "Aku nggak mau pulang. Aku pengin nenangin diri."

"Gue anter kemana lo pengen pergi."

Ia tersenyum dan meminum hot milk chocolate yang tadi dia abaikan, di letakkan nya kembali minuman itu saar sadar isi dialamnya tak lagi panas.

Selesai minum Raina beranjak keluar cafe dengan menggendong tas ranselnya sedangkan kopernya dibawa oleh Arda. Raina duduk di bangku penumpang, memejamkan mata dan berusaha agar lebih tenang setelahnya.

Setelah meletakkan koper Raina di jok belakang, Arda duduk di kursi pengemudi dan memandang wajah Raina yang sedang tidur.

Cantik!

Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang