Lisa
Aku hanya bisa mengelus perut tanda kekenyangan setelah makan malam di apartemen Ralph. Roasted chicken dan mashed potato jelas jadi menu makan malam yang sangat berat, tapi berhubung aku sangat kelaparan setelah berkeliling Jakarta bersama Ralph, makanan itu berpindah sepenuhnya ke perutku.
Ralph menyodorkan buah potong ke hadapanku dan kusambut dengan gelengan. Sumpah, aku bahkan tidak yakin perutku masih sanggup menampung makanan jenis apa pun, bahkan air putih sekalipun.
Aku duduk menggelosor di atas karpet dan menjadikan sofa sebagai sandaran. Ralph ikut-ikutan berselonjor di sampingku sambil mengunyah buah potong favoritnya.
"Why don't you sleep here? I know you're tired."
Aku tersipu saat mendengar tawaran itu. Sangat menggiurkan, tapi aku tahu aku tidak akan bisa hanya sekadar tidur di sini. Apartemen ini sudah terlalu banyak menyaksikan sejauh mana permainanku dengan Ralph.
Lagipula, sulit untuk menolak pria seperti dia.
"It's okay. Aku masih bisa menyetir."
Tidak seperti biasanya, kali ini Ralph tidak memaksa. Aku meliriknya dengan ujung mata. Dia tengah menyantap buah, tapi pandangannya tertuju lurus ke arah televisi yang dibiarkan menyala tanpa suara.
"Thank you for today. It means a lot to me."
Aku menepuk pahanya pelan. "Anggap saja itu caraku balas budi atas kebaikanmu selama ini."
Ralph meletakkan piring berisi buah yang tinggal seberapa, lalu memutar tubuhnya hingga menatapku. "What have I done? Maksudku, aku tidak melakukan apa pun yang bisa membuatmu jadi berutang budi."
Aku tidak langsung menjawab. Alih-alih, aku mengambil remote dan memindahkan channel TV, tanpa tahu apa yang ingin kutonton. Aku hanya ingin membuang-buang waktu, itu saja.
Ralph sepenuhnya salah. Mungkin dia tidak menyadari, tapi dia sudah melakukan banyak hal untukku. Aku tidak tahu apakah dia memandangku sebatas klien atau apa, tapi di mataku, dia membuatku menyadari banyak hal yang tidak pernah kusadari sebelumnya.
Mengetahui tidak ada acara TV yang menarik perhatian, akhirnya aku meletakkan remote di atas meja dan berhenti berpura-pura.
"What do you think of me when we first met?"
Ralph menelitiku tajam sebelum akhirnya membuka mulut. "You're so fragile."
Aku tersenyum tipis. Enam bulan lalu, ketika aku tidak sengaja bertemu dengannya di Melbourne, aku seperti kehilangan semangat hidup. Aku bahkan tidak tahu tujuan hidupku selanjutnya. Semua hal yang kumiliki mendadak hilang dan meninggalkanku sendiri. Aku harus menghadapi semua cemoohan itu sendiri. Rasanya, dunia seperti berakhir.
Namun, aku ingat pesan yang ditinggalkannya di secarik kertas. Aku bahkan masih menyimpan kertas itu.
Masih ada harapan, sesuai dengan nama bunga kesukaanku, Daisy.
Karena itulah, aku ingin menjadi Daisy.
Di depannya, aku akhirnya bisa melupakan kehidupan seorang Lisa yang sangat menyedihkan. Aku mencoba jadi lebih berani, mencoba lebih peduli kepada diriku sendiri. Aku memanfaatkannya untuk mengusir semua bayangan Dhika dan rasa sakit yang ditinggalkan Si Brengsek itu, tapi tanpa kusadari, aku membiarkannya mengusir semua lara yang kualami di sepanjang hidupku.
Seolah-olah aku akhirnya kembali mendapatkan harapan, meski sejujurnya, masih sulit untuk menata kembali masa depan yang sempat kuabaikan.
Aku terlalu menikmati diriku yang menjadi seorang Daisy, bahkan melakukan hal yang sebelumnya tidak pernah terpikir untuk kulakukan. Aku lelah untuk bertindak selalu berhati-hati. Aku lelah menjalani hidup dengan memenuhi ekspektasi yang disematkan orang lain dan harus kujalani. Untuk sesaat, aku merasa menemukan kembali diriku yang telah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
(COMPLETE) Love & Another Heartache
RomanceRalph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided to spent three weeks in Melbourne after she called off her wedding. On the night who supposed to be...