Carissa's POV
"Cheers untuk kelulusan kita."
"Cheers!!!" Denting gelas beradu dengan suara musik. Dengan cepat aku meneguk minuman yang ada di tanganku hingga tandas.
Seperti biasa, aku dan keempat sahabatku, Gani, Ray, Anggi, dan Ryan menghabiskan malam di club. Tapi tak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini kami ke sini dalam rangka merayakan kelulusan. Empat tahun terasa begitu cepat berlalu. Aku merasa lega bisa menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Ya, walau rasa lega ini hanya sementara, karena kami harus menghadapi dunia yang lebih keras. Dunia kerja.
Sebenarnya bisa saja aku menunda waktu untuk bekerja, menikmati masa-masa bebas setelah kelulusan dengan berlibur, atau melakukan hal-hal yang kuinginkan. Bahkan aku bisa saja hidup tanpa bekerja. Hidup dengan uang yang dimiliki orang tuaku, yang kuyakin tak akan habis hingga tujuh turunan. Memiliki Papa seorang miliyader memang enak. I can get everything I want.
Papa memintaku untuk bekerja di perusahaannya, tapi aku menolak. Aku sudah bertekad untuk menjadi wanita mandiri, tak bergantung pada siapapun.
"Ca, kira-kira lo bisa abisin segini tanpa jeda nggak?" Tanya Gani, sambil mengangkat botol minuman yang sudah tak terisi penuh.
"Bisa."
"Kalau gitu tanding sama gue. Yang kalah dapet hukuman," tantang Ray, aku hanya geleng-geleng kepala mendengar tantangan konyolnya.
"Oke, let's do it."
Ryan memberikan satu botol padaku dan satu botol pada Ray yang isinya sama-sama tak lagi penuh.
"Ready?" Tanya Gani, aku dan Ray kompak mengangguk.
"Satu...dua...tiga!"
Dengan cepat aku mencoba menghabiskan minuman ini, tenggorokanku langsung terasa panas. Gani, Anggi, dan Ryan bersorak menyemangati, tapi sialnya aku tak tahan. kuletakkan botol itu kembali di meja, bersamaan dengan Ray yang juga meletakkan botolnya yang sudah kosong. Ray tersenyum bangga, sekaligus mengejekku yang tak bisa menghabiskan minuman itu.
"Yesss I win!" Teriaknya
"Yayayaya lo menang," sahutku malas. Aku mengambil lemon di atas meja, menetralkan rasa pahit di dalam mulut.
"Jadi hukumannya lo harus milih truth or dare," ucap Ryan, membakar batang rokok yang sudah kesekian kali.
"Truth or dare ?" Tanya Ray, seraya menaikkan sebelah alis. Ekpresinya sangat menyebalkan, tak jauh beda dengan Anggi, Ryan, dan Gani. Mereka menatapku seolah aku adalah seorang tawanan. Sial, kenapa aku bisa kalah permainan konyol itu.
"Dare," jawabku, mereka semua tertawa. Aku yakin Ray tengah menyiapkan tantangan tak kalah konyol untukku.
"Lo harus cium bibir orang yang warna bajunya sama kayak lo," ucapnya.
"Are you crazy?! Masa gue harus nyium orang? Disangka murahan dong gue," protesku. Namun mereka hanya mengedikkan bahu. Seolah tak peduli.
"Ya itu konsekuensi atas kekalahan lo. Jadi gimana, berani nggak?"
Aku menatap sekeliling, mencari orang yang memakai baju berwarna marun. Ada banyak sebenarnya, tapi kebanyakan hanya lelaki dengan tampang pas-pasan, atau Bapak-bapak berperut buncit yang sedang menari dengan wanita muda. Yaikss disgusting.
Cukup lama aku memperhatikan keadaan, hingga pandanganku jatuh pada seorang wanita yang tengah asyik berbicara dengan wanita lain di bar. Warna kaos yang dikenakan sama dengan dress yang kupakai. But wait, masa aku harus mencium wanita?