3. Apa Kita Pernah Bertemu Sebelumnya?

6.2K 1.1K 31
                                    

Sore itu, selepas menyelesaikan hari terakhir syuting stripping-ku bersama FrameHits, aku segera pamit untuk mengejar pertemuan dengan manajemen Arcade.

Duh, kerjaan siapa lagi ini kalau bukan Leta? Aku kan sudah bilang berkali-kali kepadanya, aku nggak mau ikut bergabung dengan proyek drama terbaru mereka itu. Eh, malah dia yang ngotot. Dan secara sepihak menjadwalkan aku untuk ikut dengan meeting bersama Mas Azwar. Secara nggak langsung, itu kan sama seperti mengatakan bahwa aku setuju ikut bergabung dengan proyek itu.

Aku bisa saja sih sengaja nggak datang, menyebalkan banget memang Leta itu. Tapi itu nggak etis. Dan itu bukan caraku. Bagiku, untuk bisa eksis di dunia persinetronan ini selain bakat akting, salah satunya adalah harus punya attitude bagus. Kamu bisa saja bertahan karena gimmick, atau nepotisme dengan produser, atau cara-cara nggak bener lainnya. Hanya saja, percaya deh. Yang kayak gitu nggak bakalan bertahan lama. Sementara yang kubutuhkan adalah koneksi yang selalu berjalan baik dengan semua orang. Walau sudah nggak bekerja dalam satu proyek lagi, siapa yang tahu kalau nanti-nanti aku masih membutuhkan mereka?

Lobi kantor Arcade yang terletak di lantai enam belas gedung SiraMedia sepi ketika aku tiba. Nggak terlihat ada aktivitas berarti yang heboh di sini seperti yang biasa kujumpai di kantor FrameHits. Kucoba menghubungi Leta, untuk menanyakan apakah dia sudah sampai di sini atau masih dalam perjalanan. Tapi telepon dan pesanku nggak ada yang terjawab. Jadi kuputuskan bertanya saja kepada resepsionis lobi.

Oleh cewek cantik berwajah oriental itu aku diarahkan masuk ke sebuah ruangan. Ketika aku membuka pintu, ternyata di dalam sudah ada banyak orang. Aku tahu beberapa di antaranya. Tapi aku masih saja bingung dengan keadaan ini.

"Julie!"

Seseorang memanggil namaku. Ketika dia mendekat segera kuulurkan tangan kepadanya. "Mas Azwar, apa kabar?"

"Kabar baik. Baik. Ayo sini, gabung sama kita-kita."

Dia mulai menggiringku mendekati gerombolan yang tengah berdiri di sudut lain ruangan.

"Aku senang sekali sewaktu Leta akhirnya mengkonfirmasikan kehadiranmu hari ini. Kami sangat berharap kamu mau ikut bergabung dengan proyek kita ini." Katanya. Aku hanya tersenyum kikuk.

Duh, aku kan nggak benar-benar berniat untuk bergabung.

"Kamu sudah membaca resume dan naskah yang kita kirim lewat Leta?" tanya Mas Azwar lagi.

Aku menggeleng.

"Oh, iya. Aku lupa. Leta kemarin bilang bahwa kamu masih harus menyelesaikan syuting terakhirmu. Nggak apa-apa. Kita baru akan memulai proses produksi pertengahan bulan depan. Jadi kurasa masih ada cukup waktu buat kamu. Ya kan?"

Sekali lagi aku hanya mengangguk bego. Dan secara naluri, diam-diam aku memindai seisi ruangan dengan was-was. Berharap bisa memasang kewaspadaan penuh jika terjadi hal yang nggak kuinginkan. Bertemu dengan orang yang ingin kuhindari misalnya.

Mas Azwar membawaku menemui Yoris Radena, sutradara film yang seingatku sudah beberapa kali memenangkan penghargaan sebagai sutradara terbaik. Wow, seserius itukah proyek ini? Sampai-sampai sutradara sekaliber Yoris mau ikut bergabung?

Juga pada beberapa kru lain. Penulis naskah. Kameraman. Editor. Make up artist. Dan, tentu saja kepada aktris yang akan jadi bintang utama serial ini.

Kamu nggak akan bisa bertahan di dunia persinetronan ini kalau nggak bisa berlagak baik di hadapan semua orang. Maksudku, bukannya harus bersikap munafik ya. Tapi memang ada semacam tata krama pergaulan nggak tertulis yang harus kamu ikuti jika mau eksis dan diterima dengan baik di sini. Tapi belum apa-apa sudah terasa semacam aura nggak enak yang seketika terpercik di antara aku dan Amelie.

The Worst JulietteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang