Tak akan pernah tahu

69 12 7
                                    

Dia memainkan jemarinya dipagar depan kelas kami. Aku hanya diam. Lama menunggunya untuk ber bicara terlebih dahulu.
"Ada apa?Apa kamu mempunyai masalah?"
Dia membuka pertanyaan.
Angin berhembus kencang, membuat awan diatas berlarian ketimur.
"Ada apa???" Aku mengulang pertanyaannya. Dia menoleh. Pandanganku tetap lurus kedepan. Malas memandangnya.
"Sudah tiga tahun aku menunggumu bertanya ada apa kepadaku." Ucapku.
Dia mengernyitkan dahi. Heran. Jarinya berhenti memainkan air dipagar  -bekas hujan semalam.
Bu Guru dengan bibir merah keluar dari kantor. Berteriak- teriak menyuruh teman-teman yang baru berangkat supaya cepat lari kekelas. Padahal bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu.
"Tapi ternyata baru sekarang kamu menanyaiku." Lanjutku.
Jarinya kembali bermain dipagar menghilangkan kecanggungannya. Karena sudah satu bulan lebih kami tak berbicara sepatah katapun. Bahkan bertegur sapa.
Angin kembali berhembus kencang. Membuat jilbab putih yang kami kenakan menari-nari.
"Maksudmu?" Dia bertanya yang kedua kalinya.
Kali ini pandangannya lurus kedepan. Mencoba memandang apa yang kupandang.
Aku malah mengalihkan pandanganku pada bu Guru dengan bibir merah yang sekarang berjalan menaiki tangga gedung seberang menuju ruang kelasnya.
"Apa kamu ingat saat dulu aku pernah memberikan surat pada Reza? Kamu tidak tahu alasannya, dan malah sok tahu menganggap aku menikungmu dari belakang?" Suaraku macet ditenggorokan. Aku menjadi gugup. Ragu dengan apa yang akan kukatakan lagi.
"Apa kamu ingat saat dulu aku tiba-tiba aku menangis dikelas, saat aku tidak masuk sekolah berhari-hari, saat acara tujuh belas Agustus aku tidak datang kesekolah menemuimu? Kamu tidak bertanya ada apa kepadaku. Kamu malah sok tahu menganggap waktu itu aku hanya sakit biasa"
Dia hanya diam.
Aku tak mau melihat raut wajahnya. Telapak tangannya menggenggam ujung pagar.
Bu Guru dengan bibir merah   sudah berada didepan kelas gedung seberang. Tak menghiraukan keberadaan kami. Bahkan menyuruh kami masuk kelas, melirik saja tidak.
Tiba-giba kelopak mataku berair. Ingin menangis. Tapi aku menahannya.
"Apa kamu ingat saat ulang tahunmu satu bulan yang lalu dan aku tidak datang? Kamu tahu alasannya?" Suaraku kini benar- benar tercekat ditenggorokan. Susah melanjutkan perkataanku. Angin tak mau berhembus lagi. Padahal aku ingin angin menghapus air mataku,"Kamu malah sok tahu mengataiku berpacaran dengan Reza, pacarmu. Memang waktu itu Reza tidak hadir diacara ulang tahunmu. Tapi apa karena aku dan Reza sama- sama tidak hadir itu berarti kami bersama?"
Air mataku kini menetes. Deras. Seperti air terjun.
Tangannya menggenggam ujung pagar dengan erat. Bekas air hujan semalam sudah hilang diterpa angin.
Aku hanya mendengar isakannya. Dia juga menangis. Entah karena apa.
Disaat kami berdua sudah tersedu, angin baru datang. Bukan menghapus air mata, malah membawa debu yang sialan masuk kemata. Membuat mata pedih.
"Lalu, apa sekarang kamu mau menjelaskannya?Aku sudah bertanya ada apa kepadamu" Dia menanyaiku tanpa rasa menyesal. Lalu apa guna air matanya itu.

"Semuanya sudah terlambat. Semuanya sudah terjadi. Kamu menanyaiku disaat aku sudah mulai mengunci semua rahasiaku. Semuanya benar terlambat!!" Aku menyeka air mata. Menyeka dahi yang berkeringat.

"Lalu kenapa kamu tidak menceritakan itu semua kepadaku dulu?" Dia memandangku lagi.
Dan lagi-lagi aku menghindari matanya.Aku hanya menatap lurus kedepan. Malas melihatnya.
"Aku itu bukan kamu yang bisa curhat dibanyak orang. Berbicara denganmupun harus menunggu moodmu yang baik. Bahkan aku menyesal selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untukmu. Aku hanya ingin bercerita kepadamu seperti kamu bercerita kepadaku!"
Dia diam. Lalu melepas telapak tangannya yang menggenggam pagar.
Tiba-tiba bu Guru dengan bibir merah berada dibelakang kami, mencubit lenganku dan lengannya, "Ayo masuk kelas!!".
Aku lupa bahwa jam pertama kelasku adalah pelajaran beliau.
Bu Guru dengan bibir merah masuk kekelas kami lebih dahulu.
Sedangkan dia mengikuti bu Guru dengan bibir merah dibelakang. Menoleh kepadaku dengan tatapan benci, "Aku tidak mengerti maksudmu! Dan aku tidak mau tahu apapun masalahmu!!" Dia lalu hilang dibalik pintu.
Aku meremas jari. Menahan perihnya hati ini. Tangisanku malah semakin menjadi.
Kamu selalu tidak berubah, kawan! Kamu selalu saja langsung menilai apa yang kamu lihat tanpa ingin tahu maksudnya.
"Kamu tahu, kawan, satu bulan yang lalu ibuku meninggal. Tepat dihari ulang tahunmu..!" Lirihku disela isakan tangis.
Lalu aku masuk kedalam kelas.

                     END.

Tinggalkan jejak kalian dengan kirim komentar setelah membaca, ya, kawan..! Kritik dan saran juga boleh.
Jangan lupa kasih vote juga..!!
                      Salam.

               Kidulepen,160219.

                

MASALAHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang