Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya, "Arya, ada beberapa tingkat dalam bercinta. Cinta kita kepada
sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang tua dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian
meningkatlah cinta kita kepada tanah kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah
yang diberikan oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari cinta kita
adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita gairah atas sesama manusia, yang
memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta
kita kepada Yang Maha Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita dihadapkan kepada persoalan yang seolah-
olah merupakan pertentangan antara kedua pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta kita kepada
bangsa yang seolah-olah bertentangan kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia."
"Tidak," kata gurunya itu, "Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus menempatkan cinta kita kepada tanah
tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia
yang akan mewarisi hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat menikmati
cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas. Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan
duniawi."
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia harus pecah, maka hendaknya
perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan. Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri
sendiri. Demikianlah kalau peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat
menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan pengabdian yang lebih luhur.
Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya,
nasib rakyatnya. Tetapi gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu masih bisa
dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang berjalan di mukanya itu mendadak
berhenti.
"Ada apa?" ia bertanya. Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa orang berdiri.
Kemudian terdengarlah salah seorang dari mereka berteriak, "Berhentilah di situ."
Arya kemudian mendorong kudanya, mengambil tempat terdepan. Ia masih maju beberapa langkah. Tetapi kemudian
iapun terpaksa berhenti ketika sebuah tombak melayang dan menancap di tanah, hanya dua langkah dari kaki kudanya.
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 538
DEMIKIAN asyiknya Arya menganyam angan-angannya, sehingga ia tidak melihat sebelumnya, orang-orang yang
menghadang perjalanannya itu.
Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka tombak yang kedua akan