Bel istirahat baru saja berdering, namun entah mengapa keempat gadis itu sudah sampai di kantin dengan berbagai macam makanan di hadapan mereka. Saat mereka tengah berbincang tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang menghampiri meja keempat gadis itu.
"Lagi makan ya?"
"ANGGA," teriak Vina, Sefita, dan Listi dengan suara nyaringnya hingga beberapa orang yang baru sampai di kantin pun langsung memusatkan pandangan ke arah mereka. Berbeda dengan ketiga gadis itu yang terkejut, Nadia justru diam mematung.
Apakah benar lelaki tampan itu Angga? Angga Selvandi Alviano? Seorang mahasiswa yang pernah mengisi kehidupan Nadia sebelum akhirnya pergi karena harus melanjutkan pendidikan nya di luar Negeri.
"Bengeng oy, masih inget kalian? Kirain lupa," ucap Angga yang kini mulai duduk di sebelah Nadia. Jangan tanya bagaimana ekspresi Nadia saat ini, rasanya ia ingin tenggelam saja ke dalam perut ikan paus.
"Mana bisa lupa Ngga, kita nggak pikun kalik," timpal Sefita dengan antusias.
"Yaa kan bisa jadi. Gue pinjem Nadia boleh?"
"Boleh lah, jangan dibalikin kalo perlu, nyusahin aja tuh anak kerjaannya."
Nadia melotot mendengar ucapan Listi, namun yang dipelototi seakan tidak memedulikannya sama sekali. Kekesalan Nadia pun mendadak hilang saat tangan kanannya digenggam oleh Angga dan ditarik untuk mengikuti langkah pria itu.
Demi apapun dia sangat gugup, jantungnya terus saja berdetak cepat meskipun ia sudah mencoba mengatur napas.
Hingga sampailah keduanya di taman belakang sekolah. Suasana di taman itu sangat mendukung, selain pemandangannya yang indah, di sana juga tak ada orang yang bersinggah.
Angga berdiri menghadap Nadia dengan tatapan teduhnya. Tatapan yang membuat Nadia selalu merasa nyaman bila di dekat lelaki itu. Tatapan yang memberinya sorot bahagia meski jiwanya hancur tak terbentuk.
"Ngomong gih," pinta Angga yang kini mulai menatap dalam Nadia tepat di manik mata gadis itu.
"Ngomong apa?"
"Yakin ga ada yang mau diomongin?"
Nadia diam, sebenarnya banyak yang ingin ia ucapkan pada Angga, tapi apakah masih pantas ia bergantung pada lelaki itu setelah besarnya luka yang ia berikan? "Nad ... Ngomong, Aku pasti dengerin."
Tak tahan. Nadia memang harus bicara, ia sudah tak sanggup menahan gelisah hanya demi menutupi gengsinya yang sangat besar itu.
"Kenapa sih gak pamit sama aku kalo mau pergi?" kesal Nadia yang kini telah berada di dalam pelukan Angga. Menumpahkan air matanya yang sedari tadi ia bendung, melepas rindu yang selama ini terus merundung. Dan kini, di bawah langit yang mulai mendung, Nadia berhasil menggapai kembali tempatnya untuk berlindung.
"Aku sebenernya udah mau pamit ke rumah kamu waktu itu, tapi aku lihat motor Brian di depan rumah, jadi aku nggak pamit, hehe maaf ya," jawab Angga dengan kekehan di akhir kalimatnya.
Nadia semakin merasa jahat jika sudah begini, semua memang salahnya. Mengapa di saat ada Angga yang selalu di sampingnya, ia harus menenanggapi Brian yang ternyata hanya singgah untuk sementara?
Yah, Brian adalah masa lalu Nadia yang sekarang sudah bahagia bersama kekasih barunya. Nadia tidak terlalu kecewa, dia hanya menyesal saja sudah pernah membuang Angga demi lelaki seperti Brian.
Tapi sekarang, Nadia akan berubah demi Angga, ia tidak akan lagi melakukan hal bodoh yang nantinya hanya akan merenggut kebahagiannya.
"Maafin aku," ucap Nadia yang kini semakin membenamkan wajahnya di dada bidang lelaki itu. Ia malu terhadap dirinya sendiri, sungguh.
"Kamu nggak salah, udah dong nangisnya. Oh iya, kamu udah pacaran sama Brian?" tanya Angga dengan senyum paksanya meskipun Nadia pasti tidak bisa melihat senyuman itu.
"Enggak, Brian udah gak cinta sama Nadia."
"Kalau doi baru?"
Baru ingin mengucapkan kata 'tidak', Nadia kembali teringat dengan apa yang dilihatnya tadi malam. Apakah Zena bisa disebut sebagai 'doi'? Nadia rasa ... iya, tidak, iya, tidak ... tidak pasti.
"Hei, nggak sedih kan? Tenang ada aku yang siap halalin kamu." Entah mengapa Angga merasa geli sendiri dengan ucapannya hingga membuatnya terkekeh di akhir kalimat, begitu pula dengan Nadia. Dan tiba-tiba bel masuk berbunyi. Membuat pertemuan Nadia dengan Angga harus terjeda.
"Kenapa cemberut? Masih kurang pelukannya?"
"Dih apaan. Aku masuk kelas dulu, kamu mau kemana?"
"Pulang lah masa mau jualan."
"Ngeselin dasar, udah ah aku pergi," timpal Nadia yang hendak melangkah pergi. Namun saat Nadia berbalik badan, Angga memanggil dan membuatnya harus berbalik badan lagi. Lalu dengan sangat mendadak, sebuah kecupan manis mendarat di kening Nadia tanpa permisi, membuat gadis itu sangat terkejut.
"Udah sana, belajar yang rajin jangan mikirin aku terus," ucap Angga yang dengan tidak bertanggung jawabnya langsung pergi begitu saja meninggalkan Nadia.
"Kampreeet!" teriak Nadia sambil berlari dengan pipi merah meronanya. Ketahuilah, Nadia sangat bahagia saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...