Anak lelaki itu membuka lembar demi lembar halaman buku dengan malas di tengah pelajaran. Matematika baginya seperti Big Boss dalam sebuah video gim yang sangat sulit dikalahkan. Hitung pecahan, luas dan volume, hitung koordinat. Semua itu bagaikan hal dari dunia lain yang tidak bisa dipahami otak kecilnya.
Saat seluruh isi kepalanya hampir meledak kepanasan, bel pulang sekolah berbunyi dan menyelamatkannya sebelum dikalahkan dalam pertarungan sengit. Ia meletakkan kepalanya di meja tanpa menghiraukan buku yang masih berada di atasnya. Matanya kosong seperti robot yang kehabisan baterai. Kepulan uap pun membumbung dari bagian ubun-ubun kepalanya.
Beberapa anak lelaki lain yang sudah selesai berkemas menghampiri dia yang masih melamun sendiri. Ia sedikit melirik ke atas dengan tatapannya yang masih kosong ke arah anak-anak tersebut.
"Rafael, hari ini mau ikut ke warnet? Kita mau nge-raid Bos Sorcerer yang kemarin nih."
"Ha?"
Rafael yang masih setengah sadar hanya merespon sekedarnya. Otaknya sedang melakukan cooldown setelah menerima hantaman bertubi-tubi di jam pelajaran terakhir tadi.
Anak disampingnya lalu mengeluarkan tangannya yang daritadi berada dikantong. Ia mendekatkan mukanya ke meja Rafael sambil menyipitkan matanya.
"Malah 'ha'! Bos yang kemarin itu, loh! Yang kita di wipe-out dalam hitungan menit aja. Bakal susah kalau nggak ada kamu yang nge-tank."
"Oh, itu."
"Gimana kamu ikut kan?"
Bunyi kursi kayu yang bergeser mencuri perhatian Rafael. Seorang anak perempuan berambut panjang hingga menutupi punggungnya berdiri dan berjalan ke pintu keluar. Walau hanya sedikit, matanya bertemu dengan mata Rafael yang masih menaruh kepalanya di meja. Sebuah energi listrik seakan menjalar dari jalur dimana tatapan mereka bertemu.
Rafael tersberlari lalu dengan panik bangun dari mejanya. Buku di meja menempel pada pipinya yang sedikit basah karena keringat, tapi dengan cepat jatuh lagi ke atas meja. Dia terlihat sangat terburu-buru saat menjejalkan semua barang-barang di mejanya ke dalam tas. Ia pun berjalan ke pintu keluar dengan sedikit berlari.
"H-hei, Rafael, gimana kamu mau ikut atau nggak!?" teriak salah satu anak pada Rafael yang sudah berada di ambang pintu.
"Nggak! Kapan-kapan aja, aku hari ini lagi sibuk!" sahut anak bermata merah itu.
Dalam sekejap suara berisik teman-temannya yang kesal sudah tidak terdengar lagi. Setelah menuruni anak tangga dia langsung memperlambat langkahnya.
Di sekolah ini terdapat peraturan tidak tertulis. 'Jangan berlari di depan ruang guru jika kamu tidak mau bertemu iblis' kira-kira seperti itulah peraturannya. Karena tiap hari pada saat pulang sekolah, di sana berdiri seorang iblis berkacamata yang akan menangkap anak-anak yang berlarian di luar jam olahraga.
"Siang, Pak." Rafael mencium tangan guru killer itu dan memberi salam.
Bola matanya yang menyipit dapat terlihat dari balik kacamatanya yang tebal. Tangan kirinya membenarkan kacamatanya dan tangan kanannya dia biarkan dicium oleh siswanya.
"Hem, siang. Langsung pulang jangan mampir-mampir."
"Baik, Pak."
Rafael sebenarnya sudah siap berlari setelah menjauh beberapa meter dari tempat itu. Namun, tepat sesaat sebelum ia tancap gas, suara yang menusuk dan berat memanggil namanya.
"Rafael... Tali sepatumu lepas. Dibenarkan dulu biar nggak bahaya."
"O-oh, terimakasih, Pak."
Sejenak anak muda itu berpikir jika dia akan ditarik ke dalam neraka, tapi ternyata tali sepatu menyelamatkan dirinya. "Rencana Membaur Dan Kabur" gagal. Setelah membetulkan sepatunya Rafael yang telah kehilangan keberaniannya berjalan gontai ke gerbang sekolah.
Seseorang telah menunggunya dibalik dinding sekolah. Dia menyilangkan kedua tangannya sambil bersandar di dinding tersebut. Itu adalah anak perempuan yang tadi sempat bertatap mata dengan Rafael.
"Sepertinya kamu terlihat sangat pucat. Apa Pak Guru begitu menakutkan bagimu?"
"Anak teladan sepertimu tidak akan tahu guru killer itu seseram apa."
"Menurutmu begitu?" Anak perempuan itu mulai berjalan ke arah Rafael. Ia menyipitkan matanya yang lebar dengan disertai seringai di bibirnya. "Kalau dibandingkan aku, mana yang lebih seram, Rafa?"
"Hik!" Bahunya tersentak, bulu kuduknya berdiri, dan wajahnya dipenuhi keringat dingin. Belum pulih dari serangan sebelumnya, Rafael sudah kembali membeku di tempat.
"Stella....?" ucapnya dengan suara yang bergetar.
Membuatnya kesal adalah pilihan yang salah. Dia lebih tahu dari siapapun kalau Stella marah dia bahkan bisa jadi lebih seram dari setan. Tangan sahabatnya itu perlahan merangkul leher dan pundaknya dengan erat. Suara nafasnya terdengar jelas ditelinga Rafael membuatnya semakin gemetar.
"Ahahaha! Ah, Dasar pengecut!" Stella menepuk punggung Rafael dengan kuat. Dari bunyinya bisa ditebak punggungnya pasti terasa panas saat ini.
"Nggak usah ketawa! Kamu pikir salah siapa aku jadi begini!?" jawabnya dengan sedikit kesal.
Saat karya wisata waktu kelas 3 SD, Stella pernah mendorong dia masuk ke kolam yang dalam untuk ukuran anak kecil. Rasanya seperti akan mati. Bukannya menjadi takut pada air dalam, Rafael malah menjadi phobia pada kejahilan temannya. Orang tua anak perempuan itu akhirnya dipanggil ke ruang guru keesokan harinya.
Sudah tiga tahun semenjak itu, tapi kejadian tersebut masih terbayang di pikirannya. Awalnya dia menjauh sebisa mungkin, tetapi Stella tak pernah berhenti mengganggunya hingga ia terpaksa berteman dengan dia lagi. Namun, lama-kelamaan rasa terpaksa tersebut mulai menghilang.
"Yaudah, kita pulang yuk?" ajak Stella dengan antusias.
Gadis yang sebentar lagi akan masuk SMP itu berjingkat riang sementara sahabatnya berjalan sambil menunduk.
Mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan modern yang mulai ramai beberapa tahun terakhir. Rumah tinggal para penghuni kompleks berada di tengah-tengah area yang dikelilingi oleh beragam fasilitas yang disediakan. Sebuah sungai buatan yang airnya sangat jernih juga mengitari daerah perumahan tersebut. Tiap bagian dihubungkan oleh sebuah jembatan yang dibangun di atas jembatan itu. Meskipun kedengarannya mewah, tapi biaya harga rumah di sini tidak terlalu mahal karena kompleks perumahan seperti ini sudah umum di tahun 2027.
Siang itu cuacanya mendung dan udaranya sangat lembab. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Stella mengoceh sepanjang perjalanan pulang dengan Rafael sebagai satu-satunya pendengar. Dia selalu mencoba mengajak temannya itu berbicara karena tahu ia tidak pandai mencari topik pembicaraan.
Rafael hanya memperhatikan wajah sumringah temannya sambil tersenyum. Tidak ada yang bisa menghentikan Stella jika dia sudah bicara hal-hal yang menarik menurutnya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di pikirannya.
"Ngomong-ngomong setelah lulus kamu mau mendaftar ke SMP mana, Ste?" celetuk Rafael.
Stella terperangah mendengarnya berinisiatif dalam obrolan. Dia lalu menaruh jari telunjuk di bibirnya yang tersenyum melengkung.
"Hoho~ kasih tau apa nggak ya?" jawabnya dengan nada menggoda.
"Kalau kamu Rafael mau daftar kemana?" lanjut Stella.
"Aku... Nggak kayak kamu, aku nggak terlalu mikirin mau daftar di mana. Yang penting dapat sekolah aja udah."
"Aku mau masuk ke Akademi Toleransi Satu."
Alis Rafael terangkat seketika saat mendengar sekolah tujuan Stella. Dehaman keluar dari mulutnya saat mengangguk.
Bisa dibilang sekolah tersebut adalah sekokah terpadu yang terbaik di Indonesia. Bersama dengan empat sekolah lain dengan nama yang sama, kelima sekolah tersebut menjadi pelopor sekolah ramah difabel. Standar penerimaan di sana cukup tinggi, tapi melihat kemampuan akademik Stella, pasti cukup mudah baginya untuk diterima.
"Jadi pada akhirnya aku bisa lepas dari belenggumu ya?"
"Hmmm? Kamu bilang sesuatu, Rafa?"
Anak lelaki itu menginjak ranjau dengan sengaja.
"Tidak, tidak, tidak," jawbanya panik sambil mengibaskan tangannya di depan muka. "Aku cuma berpikir kalau kita bakal terpisah-pisah setelah lulus."
"Duh! Jangan pesimis begitu, dong. Kalau mulai dari sekarang pasti masih sempat. Atau kamu mau aku ajarin?"
Sambil menelan ludah Rafael menjawab, "Kalau itu dengan senang hati aku menolak."
Anak perempuan itu tampak merajuk. Dengan menggembungkan kedua pipinya, ia mempercepat langkah kakinya. "Rafa nggak asik!"
"Oh, jangan lupa siapin barang-barang buat besok! Kalau sampai nggak datang, aku nggak mau maafin Rafa!"
"Heeeh?"
Dengan kecepatan penuh Stella meninggalkan Rafael yang masih shock karena ancamannya. Dalam waktu singkat anak lelaki itu sudah tidak bisa melihat punggungnya yang menghilang di cakrawala.
"Sepertinya besok akan jadi lebih merepotkan dari yang aku kira."
Tanpa Rafael sadari, ternyata dibalik ucapannya ada takdir yang tidak dia inginkan telah menantinya esok hari.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Summoner: Fukanzen
FantasyDengan susah payah pemuda tersebut mencoba menegakkan badannya. Mobile suit yang ia kenakan telah retak dan pecah di beberapa bagian, juga pelipis mata kanannya mengeluarkan cairan merah yang tidak sedikit. Hanya satu motivasinya untuk tetap berjuan...