Tak Seperti Apa yang Dibayangkan

9 0 0
                                    

Rini terhenyak membaca tulisan di lembar tiket yang tak sengaja jatuh dari genggaman Tante Lina.

From Jakarta
To Balikpapan.

"Tante," gegas Rini bertanya, "kita bukan ke Batam?"

Sebelah ujung bibir Tante Lina bergerak naik, "Sama saja, sayang. Jangan khawatirkan tempat. Di mana saja kamu bisa kerja, dan menghasilkan uang," mata Tante Lina mengerling, membius Rini untuk tetap diam.

2 jam yang menyiksa. Rini menahan diri untuk tak bersuara dan hanya mendengar suara mesin pesawat, sapaan pramugari yang lewat -mengingatkan agar ia memasang sabuk dan mengabaikan suara-suara lain. Pikirannya sibuk menerka-nerka, namun 2 jam siksaan itu tak memberinya petunjuk satu pun.

Tiba di Bandara Sepinggan Balikpapan, lagi-lagi Rini merasa seperti paket barang yang dioper-oper.

Napasnya seolah berhenti sejenak membalas tatapan Tante Inne yang berdiri di hadapannya. Badannya yang kurus tinggi semakin nampak menjulang karena high heels tujuh senti yang dipakainya.

Penampilannya juga minim, kurang bahan di sana-sini. Mulutnya tak berhenti mengunyah permen karet, dan bibirnya selalu mengkerut. Sama sekali tidak ramah. Tapi tampang judesnya tertutup dengan stocking jala warna hitam yang dipakainya bersama rok mini yang betul-betul mini, hingga ia tetap menjadi daya tarik orang-orang yang lalu-lalang.

Perjalanan yang kemudian menempuh waktu seharian, sungguh tak nyaman.

Di dalam mobil yang tak terlalu besar itu Rini duduk bersama Tante Inne dan empat gadis lain. Rata-rata dari mereka seumur dengan Rini. Ada seorang yang nampaknya lebih tua dan lebih tenang. Sepertinya lebih punya pengalaman karena ia terlihat percaya diri.

Tak ada kelakar atau obrolan hangat. Semua diam, membisu. Rini pun tak punya keberanian untuk bertanya, akan dibawa ke mana mereka semua ini.

Hari menjelang sore ketika mesin mobil dimatikan di depan sebuah deretan ruko. Tanpa bicara Tante Inne membawa mereka masuk ke salah satu ruko berpintu kaca gelap yang bertuliskan "Exclusive Resto and Club". Sepertinya empat ruko yang berderet ini telah berubah fungsi menjadi sebuah rumah makan.

Restoran yang terletak di lantai dasar ini kelihatan ekslusif, sesuai namanya. Kursi-kursinya dibungkus dengan kain berwarna emas dan diberi pita, juga mejanya elegan dengan taplak yang cantik.

Naik ke lantai dua. Rini menemukan suasana yang berbeda. Meja bar yang terletak di sudut dan lampu yang temaram mengingatkan Rini pada café pojok tempat ibu biasa 'mangkal'. Waktu itu tanpa sengaja dilihatnya ibu keluar dari tempat itu bersama seorang laki-laki.

Beberapa orang laki-laki terlihat sibuk tanpa peduli pada mereka yang baru masuk.

Di lantai tiga Rini menyadari pemandangan yang berubah sama sekali.

Sepi. Lampu menyala di beberapa titik. Lorong koridor yang lurus panjang dengan pintu-pintu berhadap-hadapan, serta-merta membuat Rini pusing.

Tante Inne mengumpulkan mereka di sebuah ruangan, di lantai paling atas dari ruko itu. Ruangan itu bersofa lebar-lebar dan empuk. Hembusan dingin dari Air Conditioner seketika meluruhkan penat yang mendera Rini. Ia pun terhempas duduk.

Tak lama, seorang perempuan masuk. Sudah agak berumur, mungkin sekitar empatpuluh atau limapuluh tahun.
Rambutnya disasak dan diblow, bergelung rapi ke dalam. Pakaiannya tidak terlalu seksi seperti dua perempuan sebelumnya, tapi tetap terkesan mewah. Matanya angkuh dan tajam. Rini merasa bulu kuduknya berdiri saat kepergok memerhatikan diam-diam perempuan itu.

"Saya Mami Sandra."

Kata-katanya tegas dan penuh tekanan. Mukanya diangkat saat berbicara, seakan ingin menunjukkan kekuasaan yang ia miliki.

"Silakan kalian semua istirahat dulu. Mandi, tidur. Kalian boleh makan-minum semau kalian. Besok baru mulai kerja."

Mereka berlima digiring masuk ke dalam sebuah ruangan yang lebih besar dengan sofa besar di tengah ruangan dan enam ranjang kecil dengan enam lemari kecil yang berderet rapi di salah satu sisi kamar. Ada kulkas mungil di sudut kamar yang penuh terisi dengan berbagai kue, buah dan aneka minuman dalam kaleng. Meja pantry terletak di sudut lain ruangan ini, lengkap dengan sebuah kompor listrik di atasnya.

Rini menjatuhkan diri di salah satu ranjang dekat jendela. Letih membuatnya tak mampu berpikir dan berkata-kata. Tak disadarinya matanya yang perlahan terpejam dan Rini tertidur.

Tak Lebih dari Sepenggal Galah (2012)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang