Foto di Ruang Tamu

5 1 0
                                    

Pintu depan rumah itu terbuka lebar saat aku menapaki batu-batu yang ditata menuju teras. Di ruang tamu dengan sofa-sofa berbadan lebar warna biru tua, sebuah foto berpigura besar menyambutku dan nyaris membuatku mati berdiri.

Foto pernikahan Rio dengan perempuan berbalut wedding dress warna off-white, yang kemudian kuyakini dialah yang disebut ‘Ibu’ oleh sales rumah itu tempo hari.

Muda dan cantik. Membuatku langsung patah hati.

Sebuah tulisan di bagian bawah foto yang menandai tanggal pernikahan mereka, membuat ulu hatiku teriris sembilu. Kedua kakiku gemetar, tapi aku tak sudi duduk di salah satu sofa itu.

Ya Tuhan, lima tahun suamiku mendustaiku….

Seorang perempuan separuh baya menghambur dari dalam.

“Ibu ada?” susah payah kutahan getaran suaraku. Air mataku mengambang di balik kacamata hitam berbingkai lebar yang kupakai, sementara wig di kepalaku terasa gatal.

“Ibu sama Bapak ke Bali…”

Rasanya aku mau bunuh diri saja.

“Ibu ini siapa?”

“Hilda,” aku mengarang sebuah nama, “adiknya Pak Rio.”

Aku tak sanggup meneruskan. Aku berbalik lalu berjalan dengan cepat. Di dalam taksi yang sebelumnya kuperintahkan untuk menunggu agak jauh dari rumah itu, aku menangis.

Dua hari setelah aku mendatangi rumah itu, Rio kembali. Lebih cepat dari rencananya semula.

“Katanya seminggu, Pa?”

Rio mengendikkan bahu. “Kamu nggak senang aku pulang cepat?”

Aku merasakan perubahan. Mata Rio terlihat gelisah, memandangku dalam, dan aneh. Tatapannya penuh curiga tapi mulutnya tak berkata-apa-apa.

Aku pun menyadari sikapku juga berubah. Memikirkan lima tahun pernikahanku dibayang-bayangi perempuan lain, membuatku mual. Namun kegelisahan Rio mengalihkan perhatiannya pada perubahan sikapku.

Sepertinya si mbak telah memberitahukan kedatangan ‘Hilda’ di rumah itu. Kenyataannya, Rio tak punya adik. Mungkin Rio terusik. Atau barangkali ia merasa dirinya dimata-matai?

Untuk kali ini aku merasa di atas angin.

Aku tetap melayaninya, memenuhi kebutuhannya, walau tubuhku mengejang setiap saat memikirkan Rio mungkin juga memperlakukan perempuan itu dengan kelembutan yang sama. Dan aku semakin senewen ketika Rio seolah tak peduli dengan sikapku yang janggal. Mungkin karena hasratnya terbayar tuntas bersama perempuan itu. Atau mungkin aku sudah tak menarik lagi?

Tak sadar kugigit bibirku hingga berdarah. Perih. Tapi tak sesakit jantungku yang terbelah-belah.

Cinta yang MembunuhmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang