Seperti pernah kubilang, aku tak ingin cinta Rio terbagi. Ia milikku. Dan aku sudah memutuskan, aku harus secepatnya menyingkirkan perempuan itu.
Mobil jemputan sekolah anak-anak dan mobil Rio menghilang di tikungan. Aku memasang wig dan kacamata di balik sebuah warung yang masih tutup. Dua blok dari rumah, kucegat sebuah taksi.
Hari masih pagi saat kupencet bel di pagar rumah itu.
Perempuan itu membuka pintu dan menyembulkan wajahnya sedikit.
“Maaf ya, Mbak, lain kali saja,” tangannya bergerak hendak menutup pintu.
“Saya mau ketemu dengan Bu Rio!”
Teriakanku menahan tangannya, lalu pintu terkuak. Matanya menyipit dan ia tersentak. Ragu-ragu ia menghampiriku dan berhenti beberapa jenak dari pagar.
“Mbak siapa?”
“Ibu-ibu yang kemarin ke mana?”
Sengaja kuulur waktu. Aku ingin melihat wajah perempuan ini lebih jelas, tanpa make up. Dan aku langsung membandingkannya dengan penampilanku.
Alisnya disulam. Bibirnya yang tipis agak hitam karena terlalu sering memakai lipstik. Tipe perempuan lincah yang suka berdandan.
“Mbak Marni?” keningnya berkerut bingung. “Dia datang mencuci nanti siang. Ada apa sebenarnya?”
Kudorong pagar yang ternyata tak dikunci. Ia berusaha menahan namun kurang sigap, kakiku telanjur masuk ke halaman rumah.
“Mbak siapa? Mau apa?”
Kubuka kacamataku, menatap tajam persis di bola matanya. Dia terintimidasi. “Saya Inggrid, istri Rio. Sah secara hukum negara dan agama.”
Ia bergerak mundur. Wajahnya seketika pias dan terlihat gugup. Aku tertawa dalam hati. “Tenang. Saya cuma mau bicara. Boleh saya masuk?”
Dia mendahuluiku masuk dan menyilakanku duduk di ruang tamunya. Sikapnya menjadi lebih salah tingkah saat aku menggeleng dan mataku bolak-balik memperhatikan foto besar itu.
“Kapan Rio ke sini?”
Dia menggigit bibirnya. “Nggak tentu harinya. Kapan saja dia mau, dia akan datang menjelang malam,” ia menatapku tanpa kedip. “Mbak mau apa?”
Rasa sakit di dadaku menyeruak. Aku tak mau berlama-lama di sini.
“Saya mau Rio tahu kalau saya tahu. Tapi dengan cara saya.”
“Maksud Mbak?”
Tanganku menepis udara. Perempuan ini sama sekali tak pintar!
“Besok, kamu ajak Rio makan malam di sini. Jangan beritahu Rio kalau saya akan datang.”
Perempuan itu meringis, mungkin membayangkan aku akan melabrak Rio dan menangis-nangis histeris.
“Jam tujuh. Jangan lebih cepat dari itu.” Dia mengangguk walau kulihat ada sebersit keraguan di matanya.
“Ah, ya. Siapa namamu?”
“Hesti.”
Semoga iblis menyeretmu ke neraka.
---
Aku datang setengah jam lebih cepat. Di meja makan sudah terhidang berbagai menu, sesuai dengan yang kudiktekan tadi siang. Sup tomat untuk pembuka, Gurame asam manis dan cah kangkung bumbu rujak. Menu sederhana kesukaan Rio.
Aku tersenyum puas. Gelas minum sudah terisi. Posisi kursi sudah kuatur. Rio akan duduk di tengah, antara aku dan Hesti.
Di dapur, Hesti sedang menempatkan koktail dalam gelas saji. Ia terlihat gugup. Aku pun begitu.
Saat terdengar suara mobil Rio, Hesti sudah kuminta menyambut Rio dan menyuruhnya membersihkan diri, sementara aku bersembunyi di dapur.
Aku tak tahu kapan Rio dan Hesti keluar dari kamar. Namun aku berhasil menyelinap meninggalkan rumah itu secepatnya, setelah menghapus beberapa jejak.
---
Sebuah headline di harian ibukota membuatku menangis dalam hati.
Rio Hendrawan, Boss sebuah perusahaan tambang batubara, ditangkap Polisi.
Rencanaku berhasil. Sianida yang kububuhkan dalam gelas minum bekerja dengan cepat dan tepat sasaran, langsung menghabisi nyawa Hesti. Polisi menuduh Rio yang melakukannya setelah menerima laporan tetangga yang mendengar Rio dan Hesti bertengkar hebat sebelum Hesti ditemukan tak bernyawa.
Aku menang. Aku akan menikmati kesendirianku beberapa tahun ini. Setelah Rio bebas dari penjara kelak —sebagai hukuman atas dustanya padaku selama lima tahun, ia akan kembali menjadi milikku.
Selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Membunuhmu
Mistério / SuspenseAku memang mencintainya. Dengan caraku. Dan aku tak sudi berbagi. Aku tak mau perhatiannya terbelah, menjadi tidak hanya untukku. Karena itulah kususun skenario ini. Part of Kumcer Romantis, WSC 2017