Lelaki di depan sana masih terus menjelaskan dengan semangat, aku tidak tahu siapa namanya, tidak sempat mendengar karena terlalu fokus menatap punggung tegap Genta yang sangat kuidam-idamkan.
Yang lain sibuk mencatat, fokus memperhatikan dan terkadang tertawa karena penjelasan pemateri itu yang mungkin lucu.
Aku tak hentinya tersenyum, dan tak jarang mengganggu Genta dengan menepuk bahunya berkali-kali, atau bahkan memanggil untuk hal yang sama sekali tidak penting.
Kekanakan memang, tapi melihat responnya yang kepalang geram, entah kenapa membuatku gemas.
Tanpa terasa, satu jam telah berlalu, dan kelas telah berakhir.
Aku mengikuti Genta ketika berjalan keluar dari ruangan ini, terus mengekor layaknya anak ayam yang tidak mau kehilangan induknya.
Saat sudah berada di pelataran gedung yang cukup ramai, tiba-tiba Genta berbalik, menatapku dengan raut wajah mengeras. Ada kilatan amarah dimanik matanya, jujur... aku mulai sedikit takut.
"SEBENARNYA APA MAUMU? HAH?!" Dia berteriak, menarik perhatian satu dua orang yang tengah lewat.
Jelas saja aku terkejut, kerja jantungku dua kali lipat bertambah cepat saking takutnya. Siapa yang sangka? Ini kali pertama Genta berteriak di hadapanku langsung.
Aku mengedarkan pandangan kesekeliling tempat, menundukkan kepala berkali-kali, mewakili permintaan maafku pada orang-orang sekitar yang sempat berhenti melangkah lantaran terkejut dengan teriakan Genta.
"Berhenti mengikutiku, kamu sangat mengganggu." Mataku membola, merasa tidak percaya dengan sederet kalimatnya barusan. Sakit, itu sudah jelas.
Menarik nafas dalam, aku tidak boleh terpancing emosi dan kemudian mengekspresikannya dengan menangis. Maka dari itu, aku memilih membalas semua bentakan serta kalimatnya yang menyedihkan itu dengan tersenyum bocah.
"Udah ngomelnya? Kebiasaanmu, gak liat tempat kalau marah-marah," ucapku dengan mengerucutkan bibir, berusaha memasang wajah merajuk yang menggemaskan.
Tapi sepertinya gagal, ketika mendengar tawa sinis keluar dari mulutnya, laki-laki itu menatapku dengan pandangan mengejek. "Jangan bertingkah seolah kita ada dalam suatu hubungan, Ra."
Ughh... Mungkin jika difoto Rontgen, akan terlihat seberapa retaknya hatiku sekarang akibat mendengar semua kalimat dari mulut Genta.
"Kata-katamu makin menyakitkan aja, Ta," ucapku dengan sedikit tawa yang dipaksakan.
Angin pagi menjelang siang terasa menghunus permukaan kulitku yang dilapis kaus panjang berbahan katun jepang. Kondisi langit saat ini memang cenderung berawan gelap, dan suara guruh sesekali terdengar menggema di langit sana. kemungkinan besar, sebentar lagi akan turun hujan.
Sangat tidak kontras dengan suasana tak mengenakan yang Genta ciptakan, aku merasa seperti berada dalam sebuah sinetron. Menggelikan.
Lagi, Genta menatapku sekilas seraya tertawa mengejek. Suara tawa yang makin lama makin kubenci, dan bersumpah tidak akan mendengarnya lagi dari mulut Genta. Laki-laki itu mengibaskan tangannya malas, seolah mau menghentikan interaksi di antara kami, kemudian berlalu begitu saja tanpa basa basi, seolah aku orang asing yang tidak ada artinya.
Aku menertawakan diriku sendiri, membuang nafas kasar seraya menunduk, menangkupkan kedua telapak tanganku ke depan wajah, rasanya mau menangis sekeras-kerasnya.
Aku mengusap wajahku gusar, mendongak lagi untuk menatap punggung tegap Genta yang sudah sampai di tempat parkir sepeda motornya.
Akhirnya, dengan pikiran yang matang, aku memutuskan untuk berlari menghampiri Genta, yang beberapa detik lagi ingin menstarter mesin motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only You
RomancePernah tertatih melupakan seseorang? Pernah terjerembab dalam kubangan penyesalan dan tak bisa keluar? Percayalah, itu hidup yang harus dilalui Ara setiap harinya. Seseorang pernah berkata, bahwa setiap manusia itu diberi dua pilihan. Ingin bertaha...