Seperti biasa membelah jalan hampir setiap pagi gue lakukan. Menikmati kemacetan kota, berburu lampo ijo, dan membenci lampu merah. Berharap langit cerah dipagi hari dan tidak berharap hadirnya hujan. Hampir satu jam menikmati perjalanan menuju kampus, ya, aku masih mahasiswi tingkat empat. Masih tergolong baru, menurutku.
Perkenalkan nama gue Shiren Anastasya. Gue asli medan. Kebetulan gue kuliah di salah satu univ negeri di Jakarta. Selama kuliah gue meminta orang-orang yang mengenal gue untuk panggil nama gue Aca. Sementara temen-temen dan keluarga gue di Medan manggil gue Shirin, padahal nama gue Shiren tapi tetep aja mereka panggil gue dengan sebutan itu.
Hari ini terakhir gue ngampus karena hari terakhir uas. Gue seneng karna gue bisa balik ke Medan dan ketemu temen-temen, keluarga dan masakan mama dirumah. Karena disini gue belum menemukan makanan se-enak buatan mama.
"Balik lo ke Medan," ucap salah satu teman gue, Anjas.
Anjas ini teman gue lumayan akrab selama hampir 2 tahun gue kuliah di sini. Nah, yang gue suka dari Anjas, dia tipekal cowo yang ngga suka basa basi kalau mau bilang sesuatu langsung ke poinnya.
"jam 9 nanti gue balik, anterin gue ke bandara, bisa jas," gue memang ngga pernah malu buat nyusahin Anjas, karna dia temen gue.
Dia menggumam sambil memainkan handphonenya. "Gue ajak Adit boleh kan Ca,"
Langsung gue memutar isi kepala gue tentang orang yang bernama Adit. "Adit sopo Jarwo," jawab gue asal mencetuskan kartun lucu yang sebenarnya tidak begitu lucu. Anjas menoyor kepala gue.
"Temen gue baru balik dari Malaysia, jadi ya gue ajak biar pulang abis nganter lo gue langsung mau main sama dia," gue mengangguk-ngangguk paham sambil menyeruput teh manis di kantin.
Pembicaraan kami berhenti setelah itu. Gue yang sibuk dengan nasi goreng telur dan Anjas yang sibuk dengan Handphonenya. Beberapa kali Anjas kepergok ngeliatin gue sedang makan. Gue jadi curiga.
"Ngapain lo ngeliatin," gue tunjuk dia dengan garpu yang gue pegang. Gue pasang wajah gue seserem mungkin.
Dia menggeleng lalu tertawa sebentar, "lo makan semangat banget kayak lagi buka puasa aja," kurang ajar, dia memberikan mimik wajah yang tidak gue suka.
Makanan gue habis, perut kenyang, dan berakhir ngantuk. Gue memutuskan ikut Anjas pulang ke rumahnya buat tidur.
"Turun," gue ngerasa kayak ada yang nyuruh turun,"Aca, turun, apa mau gue jatohin ," gue langsung membuka mata dan bersiap turun dari ducatinya karna denger suara Anjas yang tinggi begitu.
Sepi banget rumah Anjas, "Ngga ada orang, Jas," tanyaku sambil memperhatikan foto-foto keluarga Anjas.
"Mas gue dirumah," Anjas nyuruh gue ikut ke dapur, "air putih cukup kan," dasar ngga sopan, masa gue disuguhi air putih doang. Tapi gue tetep ngangguk, menghormati dan merasa tahu diri.
Ngga nyangkanya gue, Anjas membawa jus jeruk dan beberapa cemilan ke hadapan gue. Gue masih diem sambil meremin mata pura-pura tidur.
"Lo tau Ina, Ca," gue tetap mendengarkan dengan mata tertutup,"Anak kedokteran satu angkatan kita, yang pernah ketemu kita di GI."
Sontak gue membuka mata dan menatap Anjas dengan serius,"Suka lo sama dia," tuding gue dengan jahil. Jarang-jarang Anjas cerita cewe kalau bukan ada apa-apanya.
Anjas tersenyum tipis, tipis banget asli. "Gue suka, tertariklah Ca, pasti." Gue masih menunggu penjelasan Anjas, "Tapi dia naksirnya sama Mas gue, Ca," gue pengen ketawa sekaligus prihatin denger Anjas ngomong barusan. Masnya, mas Ibram alias Ibrahim. Klise banget tau ngga.
Pesona mas Ibram memang luar biasa menurut gue. Dokter, tampan, mapan, dan dosen FK di kampus gue. Tapi Anjas juga ngga kalah dari mas Ibram, bedanya Anjas masih mahasiswa ngga sekeren mas-nya yang dokter.
Walah kasian temen gue, Gusti.
"Terus lo patah hati, gitu." jujur bingung gue mau nanggepi apa.
Dia menggeleng sambil meremin matanya, "Biasa aja, Cuma gue mikir cara dia buat deketin mas ibram ngga pantes banget. Terlalu maksa, iya kan, Ca."
"Namanya juga usaha, Jas," gue berupaya mikir kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan hal ini, "Cewe kalau tingkat sukanya udah parah, jalannya gimana pun dia tempuh Jas, termasuk deketin lo Cuma biar dia bisa deket sama mas Ibram."
Tau apa lo Shiren Anastaya, kayak pernah aja ngejer-ngejer cowo, batin gue.
"Lo kayak banyak banget pengalaman lo, Ca," sialan, Anjas kan tau seluk beluk gue. Mati gue kena bully.
"Gue kan.." gue tiba-tiba diem karna ada sosok mas Ibram muncul di belakang Anjas yang membelakangi pintu.
"Eh maaf-maaf kirain cuma ada Anjas disini, ternyata ada Aca," selain tampan, mas Ibram ramah banget, ya ampun.
Anjas yang baru sadar pemilik suara tadi adalah mas-nya, dia langsung melototiku dan langsung pergi bersama mas Ibram meninggalkan gue.
.
.
.
ima
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Roman pour AdolescentsShiren, seorang gadis yang hampir menginjak usia 20 tahun, harus menahan sabar setiap teman-temannya meledekinya karena statusnya yang sudah hampir 4 tahun menjomblo. "Kapan ren punya pacar?" Tidak masalah jika teman-temannya yang menanyakan hal itu...