Bab 6: Mifzal

1.1K 57 1
                                    


"Gue suka sama lo, lo maukan jadi pacar gue."

****

"Ya udah itu keputusan aku, dan aku udah punya jawabannya."

Perasaan Bayu mendadak tidak tenang, khawatir dengan jawaban yang akan Ilya berikan. Keringat dingin mulai bercucuran, angin malam yang merasuki tubuh cukup membuatnya sedikit menggigil.

Ilya berjalan memasuki rumah, Bayu hanya bisa mengikutinya dari belakang. Langkahnya semakin gontai saat kedua keluarga yang sedang mengobrol itu terlihat begitu senang.

Ilya kembali duduk bersebelahan dengan Nuri, ia mencoba mengatur napas agar air matanya tidak mengalir lagi. Kata demi kata terus berputar di kepala Ilya, pilihan yang sangat sulit untuknya. Keputusan yang akan menentukan masa depannya.

Hatinya masih belum sepenuhnya yakin untuk menerima lamaran Bayu. Secara garis besar Ilya memang menyukai Bayu. Namun, di sisi lain ada seorang perempuan yang jelas-jelas sedang menunggu Bayu. Karena apa, laki-laki baik untuk perempuan yang baik pula. Sementara Ilya, untuk mendapatkan gelar lumayan baik saja, tidak.

"Gimana, Nak?" tanya Adam.

Ilya mengangkat kepalanya, menatap lirih Abinya. Pertahanannya hampir runtuh, ia mulai menegaskan diri untuk segera menjawab pertanyaan Abinya. Napasnya sedikit terengah-engah, semoga jawaban Ilya tidak akan menyakiti siapa pun. Ini keputusan Ilya, semoga semua orang bisa memakluminya.

"Maaf Abi, Lya ...."

Hening menerpa kedua keluarga ini, semua menunggu jawaban dari Ilya. Bayu menutup matanya, menarik napas panjang. Ia mencoba mendengarkan baik-baik apa yang akan dikatakan gadis ini.

"Abi maaf, Lya. Lya nggak bisa terima, kalau nanti Lya pisah sama Abi dalam keadaan Abi tidak merestui hubungan Lya dan Bayu."

Semua orang mengerutkan kening. Ilya menarik napas panjang, seraya mengangkat kedua sudut bibirnya. Walaupun masih dengan mata sembab, tetapi senyumnya berhasil ia angkat.

"Kalau Abi dan Bunda merestui, Lya bakal terima lamaran ini."

****

Hampir sepanjang hari senyum Ilya tak pernah luntur. Perasaan senang serta bahagia menghiasi hati kecilnya. Kata-kata yang ia ucapkan kemarin terus berputar-putar. Bagaimana bisa seorang Ilya mengatakan hal seperti itu?

Ilya sangat yakin keputusannya kemarin sudah benar. Ia tak mau menyia-nyiakan sebuah kesempatan, karena kesempatan tak pernah datang dua kali. Ekspresi Bayu ketika tau jawaban yang dikatakan Ilya, sangat lucu. Dia tersenyum tanpa henti, seakan tak percaya bahwa jawaban dari sebuah cinta adalah cinta.

"Ilya!" teriak seseorang tepat di telinga Ilya.

Ilya yang sedari tadi melamun, sedikit tersentak dan menutup rapat-rapat telinganya. Ia melirik ke arah orang yang dengan sengajanya berteriak di telinga Ilya. Orang yang sangat familiar, aneh, seenaknya saja, siapa lagi kalau bukan Mifzal.

"Zal, lo bisa pelan-pelan nggak ngomongnya, gue masih bisa denger kali," omel Ilya.

"Abis dari tadi gue panggil nggak nyaut-nyaut," balas Mifzal.

"Mau apa?" tanya Ilya ketus.

Tanpa basa-basi Mifzal menarik tangan Ilya erat, untuk segera mengikutinya keluar ruangan. Ilya hanya diam tak berkutik, ketika tangannya ditarik. Rasa penasaran sekaligus takut menyeruak masuk. Tunggu sebentar, rasa takut? Mengapa ada perasaan takut?

Hijrah Bersama ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang