Lantai Dua

1 0 0
                                    

Aku tidak dapat menyimpulkan cuaca hari ini, terlalu hangat untuk berangin namun terlalu sejuk untuk cerah. Keadaan membuat badan menjadi tak karuan, tak nyaman.

Perut memaksaku untuk keluar kamar indekost untuk mencari makan malam. Meski merasa enggan, teman di sampingku mampu membujukku untuk berjalan mengitari jalan beragam penganan namun tak satupun menggugah selera.

Pesanmu beberapa menit lalu mengabari sedang bersama beberapa orang temanmu yang tak lain juga merupakan seniorku. Untungnya senior-junior sudah tak berlaku, dan cling! di sinilah aku sekarang berada satu tempat denganmu dan beberapa orang lain termasuk teman perempuanku tadi. Berkat Tuhan dengan segala skenario ajaibnya.

Menu makan malam ini adalah nasi liwet, beberapa potong ayam goreng, sate usus, tahu dan tempe goreng, tak lupa lalapan serta sambal. Kami makan bersama-sama, juga dengan tawa dan gurau. Aku selalu merasa di rumah bila bersama mereka, teman, orang istimewa, dan beberapa senior yang lebih seperti kakakku sendiri.

Meski belum ada penelitian, namun dipercaya makan beralas daun pisang dengan duduk melingkar mampu mempererat suatu hubungan. Percaya tak percaya, aku tak menampik turut mengamini. Dengan metode makan seperti ini juga, akan terlihat seperti apa orang-orang ketika lapar dan makanannya dirampas oleh yang lain. Hukum makan atau dimakan secara tak langsung berlaku, menciptakan hitungan menit makanan sudah habis tersapu bersih berpindah ke dalam perut mahasiswa-mahasiswa yang kini begah. 

Malam tak pernah larut apabila sudah berada disini, rumah kontrakan berlantai dua—karena memang hanya lantai dua yang ditempati, dengan langit-langit yang tinggi dan berdinding putih. Berisikan enam orang laki-laki dengan tambahan beberapa tamu malam ini dua perempuan dan empat laki-laki, menjadikannya ramai.

Permainan pun dimulai, hanya kejujuran, maka kemana pun ujung botol itu berhenti berputar orang itu pun yang harus menjawab apapun pertanyaannya, tentu dengan jujur, berapa jumlah pertanyaannya pun terserah yang berkuasa. Hingga akhirnya ujung botol mengarah kepadamu, aku yang sudah terkantuk dan bersandar pada dinding pun mendadak segar, tak ingin kehilangan satu kata pun yang akan kau sampaikan.

Yang lain tertawa-tawa memikirkan dapat bertanya sesukanya padamu, kau terlihat gugup. Dua pertanyaan sudah kau jawab, entah mengapa atmosfer mendadak dingin dan panas sekaligus. Aku tak masalah dengan pertanyaan yang sepaket dengan jawabmu, berjalan tanpa kepastian memang sesuatu yang patut dipertanyakan bagi sebagian orang. Seketika malam menjadi larut, dan tiada kata lagi terucap dari seorang pun, termasuk kamu, mulut seolah-olah terkunci rapat dan pita suara tak berfungsi. Permainan resmi ditutup dengan jawabanmu malam itu.

Aku tak mampu mendeskripsikan perasaan apa ini. Ada gelisah dan tanya meski aku sudah mempersiapkan diri akan terjadinya hari ini.

Namun terima kasih atas malam ini. Meski belum ku tau bagaimana kelanjutannya, namun aku masih mengamini hal yang sama sejak janjimu berubah menjadi hal lebih. Apapun itu, semoga aku dan kamu senantiasa baik-baik.

BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang