Aku sudah berjanji pulang ngantor akan minum kopi bersama Marissa. Marissa ini temenku sejak bekerja sebelum di kantor yang sekarang. Iya, kami bertemu kembali hanya berbeda departemen saja tapi masih satu devisi.
Seraya menunggu Marisaa aku memesan kopi Americano. Kebetulan ini hari jum'at bisa dilihat cafe terasa penuh karena besok weekend.
"Hai." sapanya, aku tersenyum mengangguk. "Udah lama ya," tanyanya.
"Belum, tapi udah pesen deluan, ngga apa-apakan." jelasku tak enak, dia mengangguk sambil memanggil pelayan untuk memesan.
Pesanan Marissa datang, dia menatap makanan dan minuman yang dipesannya barusan.
"Ngga bakal kenyang kalau cuma dilihatin," kataku.
Dia terkekeh dan minta izin untuk makan. Kebetulan aku sudah janji pada Ibu untuk makan dirumah, sehingga aku hanya pesan kopi.
"Nanti gue mau makan dirumah aja," dia bertanya kepadaku kenapa tidak pesan makanan.
"Gue baru putus," itu kata pertama setelah dia selesai makan.
"Minum dulu." kataku, aku yakin dia butuh tenaga kalau bercerita mengenai ini.
Dia menyeruput orange jusnya sampai habis, "Makanya gue makan malem biar rasa kesal gue tersalurkan," dia menjelaskan lagi.
Setelah aku pikir-pikir masih ada wanita seumuran Marissa saat sedih dilampiaskan ke makanan. Apa dia ngga takut gemuk, wanita kan begitu. Makannya banyak tapi maunya langsing terus.
"Tapi gue takut gendut ih," dengar barusan yang dia bilang apa. Aku cuma menggeleng tak mengerti jalan pikirannya.
"Makan itu nambah tenaga, bukan buat gendut." kataku.
Kasihan orang tuanya nyekolahin tinggi-tinggi tapi perihal ini dia ngga paham.
"Lo mah ngga ngerti, No." salah lagi kan, yauda diem kayaknya paling baik. "Kok diem aja sih." maunya apa sih model model wanita kayak gini.
"Marisaa, lo putus kenapa." aku to the point saja akhirnya. Setelah menanyakan ini, aku bisa lihat muka marissa yang tadinya kesal menjadi sendu seketika.
Laki-laki salah mulu, pusing.
Setahuku Marissa pernah bilang sedang menjalin hubungan dengan pacarnya sudah 5 tahun. Wajar dia sedih kalau putus, karna itu bukan waktu yang singkat menurutku.
"Gue ngga dapet restu, No."
Wah ini yang paling berat dari menjalankan hubungan. Restu orangtua. Kalau ini belum didapet bakal susah jalan kedepannya.
Apalagi setahuku Marissa dan pacarnya berbeda Agama. Ini lebih sulit lagi.
Kasian banget sih lo, Mar, batinku.
"Udah sebulan tapi gue pikir mungkin kami bakal baikkan, tapi ternyata engga." Dia mulai menangis sedih, ya ampun Mar. "Makanya gue baru cerita ke lo," sambungnya.
Jadi dia cerita agar aku dengarkan dan memberikan solusi kan. Baiklah, ayo mikir Reno. Kasian temenmu yang ini lagi patah hati.
"Dan yang mangkin buat gue sedih No, dia ngirimi undangan pernikahan ke apartement gue No." sambungnya lagi membuatku meringis karna pengunjung ngeliatin Marissa yang seakan-akan nangis adalah ulahku.
"Mar, malu diliatin. Gila lo." kataku akhirnya. Dia menggeleng tak perduli dan memelankan tangisannya."Udah, berarti dia bukan jodoh lo, Mar." jawabku, logika kan.
Dia menarik nafasnya, "Ngga semudah itu Bambang." Dia tertawa sambil mengsisih hidungnya. "Lo lucu, No."
Aku terdiam mendengar penuturan Marissa. Haduh jangan sampe deh, ngga inget ya dia kalau temenku.
"Gunanya temen memang gini Mar," aku masih mengajak Marissa berbicara agar dia tidak sedih lagi. "Nanti pasti lo ketemu orang yang tepat, kalau lo mau nunggu." sambungku.
Dia tertawa keras, aku menghenyitkan dahi.
"Emang gue elo, nunggu terus, nyarinya kagak," aku mendengus sebal dan merasakan kalau Marissa sudah tidak dalam mode sedih lagi.
Berarti tugasku selesai dan aku bisa pulang.
Untuk laki-laki seusiaku, aku bisa saja tinggal di Apartement. Tapi aku tidak mau, bukan tak mampu untuk membeli hanya saja tinggal bersama orangtua lebih baik. Memanfaatkan waktu untuk tetap dekat dengan keluarga.
"Jadi apartemenmu kosong, No." tanya ibu yang sedang menemaniku makan malam. Aku hanya mengangguk. "Sayang dong."
Aku menyudahi makanku dan meminum air yang ibu sediakan. "Nanti mau Reno sewain, Bu." kurasa investasi boleh juga.
Setelah itu ibu permisi masuk ke kamar. Aku mencuci piring bekas makanku namun seperti ada orang dikamar mandi dapur. Ku pelankan langkahku menuju wastafel dapur.
"Heh, siapa kamu." kataku, kulihat dia perempuan, rambutnya sebahu, jalannya masih napak sih.
Dia cuma diem, serem ngelihatnya.
"Saya ngekos disini, Mas." sejak kapan Ibu buka kos-kosan. Oke aku memang anak tunggal, tapi kan engga baik anak kos satu rumah dengan pemilik rumah.
Setelah itu aku menuju wastafel dan mengabaikannya.
"Kok masih disini," aku kaget ngelihat dia ngeliatin daritadi.
"Ibu mana, Mas." katanya.
"Ibu gue," kataku lagi, "tidur lah, uda malem. Kenapa." gini gini aku masih peduli sesama manusia.
Dia masih diem, kayak bingung gitu.
"Gue ngga bisa telepati, jadi ngga ngerti kalau lo diem aja." dia cuma natap aku datar. Kok ngga ketawa, jangan jangan. "Udah deh tidur lo, besok pagi baru omongin ke Ibu lo mau apa."
Dia mencegahku berjalan membuatku bingung, "Ada selimut, Mas." katanya, "Dingin." kok ngga daritadi sih ngomong.
"Bentar." kuambil selimut baruku dilemari dan kembali menghampirinya memberikannya, "Udah." tanyaku, diapun mengangguk.
Kayak pernah lihat, tapi siapa.
.
.
.
.
.
Ima
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Mond
General FictionBukan cerita manusia serigala yang mencintai matenya. "Bisakah aku memeluk bulan." "Dia milik semesta, kau tak bisa memilikinya." "Jangan terlalu berharap." "Apa mungkin bulan akan selalu ada untuk bumi." Itu kalimat yang ku dengar dari penghuni sem...