#7; Keputusan.

2.3K 136 1
                                    

Ginting Side's

Sesampainya di jakarta aku langsung mengemudikan mobilku menuju Pelatnas. Sepertinya malam ini aku akan diam disini.

Besok sudah saatnya aku memberitahu pilihanku pada semua, dan mungkin dengan aku malam ini diam disini pikiranku akan netral tidak terpengaruhi oleh siapapun.

Dan akupun akan meminta saran dari para sahabatku disini.

Sekitar 45 menit kemudian akhirnya aku sampai di Pelatnas. Aku segera masuk ke kamarku.

Ketika memasuki kamar, disitu ada Jonatan, ia sepertinya terkejut denga kehadiranku.

"Lah bukannya lo stay dibandung sampe superliga?"

Aku tak menjawab pertanyaannya, karena badanku sangat lelah untuk menjawabnya. Aku berbaring di tempat tidurku dan tak lama kemudian aku mulai masuk ke alam mimpiku.

----

Pagi harinya aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Badanku juga kurang enak rasanya.

Aku meraba-raba nakas untuk mencari hpku, kok ga ada ya?

Beberapa detik kemudian aku merutuki kebodohanku, baru ingat kalau aku tidak membawa ponselku karena sepulang dari mall aku langsung pergi kesini.

"Ting, gereja bareng gak?"

Aku melihat ke arah Jonatan yang sedang merapihkan bajunya.

"Duluan aja, gue ibadah sore aja."

Jonatan membulatkan mulutnya lalu setelah itu dia pergi.

Kruyuuukk

Duh laper, kalau di pikir pikir sih emang belum makan juga dari kemarin siang.

Tanpa mengganti bajuku, aku pergi keluar untuk mencari sarapan.

Setelah berjalan cukup lama akhirnya aku memutuskan untuk makan nasi kuning aja.

Sampai di tempat nasikuning aku sedikit terkejut ternyata ada Dinda disini.

Setelah aku memesan, aku sengaja membawa nasi kuning milik Dinda untukku bawa kesana.

Aku sedikit terkekeh melihat ekspresinya ketika aku membawakan pesanannya.

"Bukannya lo dibandung?" Tanyanya.

Seketika diotakku terlintas, apakah Dinda orang yang pas untuk aku curhat?

"Abisin aja dulu makannya, nanti gue ingin cerita."

Dia menghabiskan makanannya terlebih dulu . "mau cerita apa?"

Aku mengunyah dulu makanan yang ada mulutku, setelah itu baru aku mulai bercerita tentang masalah yang menimpaku. Sambil berjalan kembali menuju pelatnas.

Responnya diluar dugaan, aku pikir dia akan terkejut. Ternyata tidak.

"Menurut gue sih ini kan masalah ini sih turut ikut campur untuk kehidupan lo ke depannya. Jadi lo harus nentuin sendiri gimana"

Aku mengangguk.

"Bukannya gue nyuruh lo untuk jadi durhaka sama orang tua, tapi kan ini masalah masa depan lo juga." lanjutnya.

Ucapan Dinda semua benar, ini bukan masalah soal durhaka ke orangtuaku, tapi ini bagaimana tentang masadepanku.

"Din, boleh ikut nelepon gak?"

Dinda mengangguk, dan memberikan hpnya padaku.

Aku mengetikkan nomor sesuai yang aku ingin tuju dan setelah itu menekan tombol 'call'

Tak berapa lama teleponku diangkat.

"Hallo, mah, tolong bilang ke orangtuanya Lea buat hari ini datang kerumah."

Saat ini Ginting beserta kedua orangtua dan adiknya sedang berkumpul bersama Lea dan kedua orangtuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat ini Ginting beserta kedua orangtua dan adiknya sedang berkumpul bersama Lea dan kedua orangtuanya.

"Jadi bagaimana nak keputusan kamu?" Tanya Praja.

Lea menyenggol lengan. "Ayah jangan neken Ginting gitu dong"

"Saya sudah memutuskan om, saya harap semoga ini jadi hal yang baik di masa depan saya maupun anak om." Ucap Ginting.

Ginting menghela nafasnya, dia menyebut nama tuhannya berkali kali didalam hatinya.

Lucia menggenggam tangan anaknya itu, dia ingin memberikan kekuatan batin terhadap anaknya itu.

Ginting kembali menghela nafasnya. "Izinkan saya menikahi Lea dan menjadi ayah untuk anaknya."

"GAK!"

Semua memandang Lea yang berdiri tegap.

"Lo gaboleh nikahin Gue ting, abaikan perihal permintaan orangtua gue, lo berhak bahagia"

Ginting berdiri dan ia menghampiri Lea. "Ikut gue"

----

Ginting membawa Lea ke halaman belakangnya, menurut Ginting disitu tempat yang paling pas untuk mengajak Lea bicara.

"Ting, apaan sih tadi? Kenapa jadi kesannya lo yang ngelamar gue? Lo gabisa milih gue ting."

Ginting menghela nafasnya. "Emang Gue ngelamar lo kan secara gak langsung?"

Lea menggeleng. "Engga, lo gaboleh kasihanin gue kaya gini, gue mampu besarin anak ini sendiri."

"Itu alasan kenapa gue setuju."

"Maksud lo?"

Ginting menatap Lea dengan dalam, tangannya menggenggam tangan Lea.

"Gue gak kasihanin lo sama sekali Lea, dan Gue setuju bukan karena tekanan dari orangtua lo atau orangtua gue."

"Lalu apa alasan lo yang sebenarnya?"

Ginting menggeleng. "Gue belum tau alasan jelasnya"

Lea berdecak. "Okey fine, kalau gitu lupain aja tentang semua ini ting, lo bisa jalanin hidup lo."

Lea berdiri dan akan pergi meninggalkannya, namun tangannya ditahan oleh Ginting.

"Lo gaboleh egois gini Lea, pikirin mental anak lo, gimana perasaannya saat dia tau kalau dia anak hasil--"

"Stop Ginting, stop."

"Kita emang gak saling cinta, tapi setidaknya gue ada sampe anak itu lahir."

Lea memalingkan wajahnya, ia merasa tak memiliki harga diri untuk menatap wajah Ginting

"Maafin Gue ting, gara gara Gue lo yang harus ngorbanin hidup lo."

Ginting tersenyum.

Walau dalam hatinya begitu hancur, berarti ia harus rela melepaskan Meiwa. Tapi Ginting tak boleh egois, dia juga harus memikirkan masa depan anak dalam kandungan Lea itu.

'Ya tuhanku disurga, semoga apa yang aku lakukan ini bukan keputusan yang salah. Berilah aku kekuatan agar aku dapat melewati ini semua.' Ucap Ginting dalam hati.

RankleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang