"Selalu ada kegilaan dalam cinta. Tetapi selalu ada alasan dalam kegilaan."
- Friedrich Nietzsche -
###
Kita adalah cinta, sedang cinta adalah misteri semesta. Kita dan cinta ibarat hujan yang tak bisa diprediksi kapan, dimana, atau dengan siapa harus terlibat. Mencintai berarti tunduk pada konsekuensi; kalau tidak gila, ya kalah. Mencintai juga berarti hitam di atas putih; aku atau dia, dia atau mereka. Takut? Apa seorang pencinta perlu takut? Tentu tidak. Untuk apa? Toh mereka punya rangkaian kata dibalik skizofrenia, wajah patung Pancoran dibalik bipolar, atau segudang bubuk bahagia dibalik depresi. Pencinta selalu tahu mengapa dia mencintai. Sekecil apapun rasa, dia selalu sadar kapan harus berjuang dan mempertahankan apa yang patut diperjuangkan. Senormal apapun manusia, dia akan berubah menjadi orang paling gila saat berhadapan dengan cinta.
Lendir putih pekat keluar dari salah satu lorong gelap, jauh melewati batas kesopanan, turun ke kumis yang dicukur bersih, lalu berhenti sejenak di ujung bibir atas. Offside.
Sebelum bibirnya benar-benar lengah dan lidahnya berkesempatan mengecap rasa yang tak diharapkan, Doni buru-buru menghirup asetnya kembali.
"Ew, jijay..." Bisik-bisik tetangga menyeruak tanpa ampun.
Doni mendengarnya. Bohong kalau dia pura-pura budek di jarak kurang dari satu meter dari para hater.
"Don, nggak punya tisu apa?" Terutama bagi para perempuan pencinta kebersihan, kebiasaan Doni jelas melanggar Pasal 1 Undang-Undang Kesucian; ingus adalah barang haram yang harus dibuang bahkan sebelum menampakkan wujud aslinya.
"Maaf, Na. Saya nggak sempat beli tisu." Kata Doni sembari memaksa ingusnya yang berulah untuk kembali ke lorong. Adegan offside itu biasanya terulang tiap 5-10 menit sekali.
Mereka--para perempuan--geleng-geleng kepala tak habis pikir, bagaimana bisa makhluk segagah itu mengatakan kalimat yang sama hampir satu minggu ini? Apa otak Doni akhirnya geser ke ketiak?
Entahlah.
Kenapa juga hidung Doni tidak pernah berhenti mengeluarkan ingus? Apa dia evolusi manusia modern? Memang ada ya manusia normal yang pilek sampai seminggu penuh? Ajaib.
###
"Semua buku catatan dan peralatan eletronik tolong dimasukkan dalam tas. Kerjakan ulangannya dengan jujur." Pengawas UTS hari pertama di ruangan Doni seperti malaikat maut—siap mencabut nyawa siapa saja yang berani menyontek. Semua mata mulai berkutat dengan lembar soal di atas meja, membaca satu-dua nomor secara acak, lantas 9 dari 10 orang mengeluh dalam hati karena soalnya sulit.
Sementara itu, Doni di barisan belakang sedang sibuk dengan ingusnya sendiri. Kakak kelas di bangku sebelah meliriknya sekilas, tapi tidak menegur kebiasaannya.
Khusus saat ulangan, baik itu tengah atau akhir semester, masing-masing meja akan diisi oleh dua orang dari angkatan yang berbeda. Tujuan dari sistem ini adalah menghindari kerjasama antar teman saat ulangan.
Kebetulan di semester tiga ini Doni duduk dengan kakak kelas berkacamata dari XII-A7. Doni tidak terlalu mengenal kakak kelas itu. Yang dia tahu hanya nama panggilannya Mas Hari.
Doni sedang mengerjakan soal kesepuluh ketika sebuah tisu bergerak sukarela dan menyeka ingusnya. Dia mengikuti tangan baik hati yang menggerakkan si tisu.
"Ini tisunya," Hari menyerahkan tisu bekas ingus ke tangannya. "Silahkan diambil, saya bawa banyak." Lanjutnya sembari tersenyum tipis. Tidak ada nada jijik atau mengejek dalam suaranya. Dia murni menolong karena dorongan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah
Casuale[Boyslove] Coming out? Adakah kata itu di kamus Doni? Serius, ini si Doni yang itu lho. Iya, Doni yang ingusnya suka "offside" padahal sudah SMA. Doni anak Emak yang suka makan tapi tetap kurus. Doni anak Bapak yang setiap hari "angon" kambing di l...