Karina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya.
Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam itu, Karina merasa seolah ada dua dunia yang saling berlawanan di dalam hatinya. Di satu sisi, ada Hesa—pacarnya yang sudah ia kenal lama, orang yang selalu ada dalam setiap bagian dari hidupnya. Tapi di sisi lain, ada Jeno—seorang cowok yang baru ia kenal, namun sudah berhasil memberikan kenyamanan yang begitu berbeda dari yang selama ini ia rasakan.
Setelah pertemuan tadi malam dengan Jeno, Karina merasa seakan beban yang selama ini dipikul terasa sedikit lebih ringan. Bersama Jeno, segala sesuatu terasa lebih mudah. Tidak ada tuntutan atau harapan yang berlebihan. Hanya ada tawa, obrolan ringan, dan perhatian yang begitu tulus. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia pungkiri: meskipun Jeno membuatnya merasa dihargai dan diterima, hatinya masih merasa terikat dengan Hesa, meskipun ia tahu, Hesa tidak pernah memberikan perhatian yang sama.
Beberapa hari kemudian, Karina memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal. Kuliahnya dimulai siang, namun ia merasa perlu untuk menenangkan pikirannya. Ketika sampai di kampus, ia tidak sengaja bertemu dengan Winona yang tengah duduk di taman kampus sambil membaca buku.
"Eh, Karin!" Winona menyapa dengan senyum lebar. "Lagi ngapain? Pagi-pagi begini udah di sini aja?"
Karina menghela napas, duduk di sebelah Winona. "Lagi pengen mikir aja, Win."
"Jadi, masih mikirin Hesa sama Jeno?" Winona bertanya dengan nada yang setengah bercanda, tapi Karina bisa merasakan keprihatinan dalam suaranya.
"Entahlah," jawab Karina pelan. "Aku bingung, Win. Aku sayang sama Hesa, tapi rasanya dia udah nggak pernah ngerti aku lagi. Kayak semuanya cuma janji-janji kosong yang nggak pernah ditepati. Tapi di sisi lain, Jeno... dia bisa bikin aku senyum lagi. Aku nggak tahu, apa yang harus aku pilih."
Winona menutup bukunya dan menatap Karina serius. "Rin, kadang kita harus realistis. Kalau kamu terus-terusan berharap pada seseorang yang nggak pernah berubah, kamu nggak akan maju. Hesa itu udah lama banget nggak ngertiin kamu, tapi kamu terus nunggu dia berubah. Jeno? Dia datang dan langsung kasih perhatian ke kamu. Kalau kamu terus-terusan bingung, kamu bakal nyakitin diri sendiri."
Karina menggigit bibir, merasa perasaannya semakin terpecah. Winona benar. Tapi memilih antara dua perasaan yang kuat adalah hal yang jauh lebih rumit dari yang ia kira. Ia tak bisa begitu saja berpaling dari Hesa yang sudah menjadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun. Tetapi, dia juga merasa ada sesuatu yang tumbuh dengan Jeno, sesuatu yang seolah mengingatkannya pada betapa berharganya dirinya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebelum Karina bisa melanjutkan pikirannya, ponselnya berdering. Nama Hesa muncul di layar. Meskipun hatinya sedikit ragu, Karina menjawab telepon itu.
"Hai, Rin," suara Hesa terdengar lewat telepon. "Aku minta maaf banget kemarin. Aku janji deh, aku bakal lebih sering nemenin kamu kalau ada waktu. Gimana kalau kita hangout akhir pekan ini?"
Hati Karina terasa seakan terombang-ambing. Setiap kali Hesa mengucapkan kata-kata itu, seolah ada secercah harapan, tetapi entah kenapa ia merasa itu hanyalah janji kosong yang sudah terlalu sering didengar.
"Ya, aku pikirin dulu, deh," jawab Karina singkat, merasa perasaan cemas mulai kembali menyeruak. Ia menutup telepon itu dengan rasa tidak pasti.
Sementara itu, beberapa menit setelah telepon itu, Karina mendapat pesan singkat dari Jeno.
"Rin, gue baru dapat tempat nongkrong baru nih. Kalau lo lagi bosen, datang aja, gue bakal ada di sana. Kita bisa ngobrol sambil santai, siapa tahu bisa bikin lo lebih tenang."
Pesan itu sederhana, tapi hati Karina langsung terasa lebih ringan. Tidak seperti pesan dari Hesa yang penuh dengan janji, pesan dari Jeno terasa lebih tulus dan tanpa tekanan. Karina tahu bahwa dirinya harus segera membuat keputusan. Hatinya tak bisa lagi dibagi antara dua orang yang sangat berbeda.
Hari itu, setelah kelas berakhir, Karina memutuskan untuk pergi ke tempat nongkrong yang Jeno beritahu. Ia tahu, mungkin ini saat yang tepat untuk merenung lebih jauh. Setibanya di tempat yang ternyata sebuah angkringan tersebut, Karina melihat Jeno sedang duduk di sebuah kursi dengan es lumut di tangan-nya. Senyum Jeno langsung membuatnya merasa lebih nyaman, tanpa harus berpura-pura bahagia.
"Lo datang juga," kata Jeno, tersenyum dengan santai. "Ayo, duduk dulu, jajanan disini enak-enak."
Karina mengangguk dan mengikuti arahan Jeno. Suasana di tempat itu terasa nyaman, hanya ada suara musik lembut yang mengalun dari speaker. Bibi pemilik angkringan juga bersikap ramah. Sesekali, Jeno merekomendasikan jajanan favoritnya, dan membahas rencana-rencana yang sedang ia buat.
Selama beberapa waktu, Karina merasa semakin nyaman. Rasanya seperti tidak ada yang memaksa, tidak ada ekspektasi. Jeno hanya ingin berbagi waktu bersama, tidak lebih. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat.
"Kenapa, Rin? Kayaknya lo masih mikirin sesuatu," tanya Jeno dengan nada lembut.
Karina menatapnya, merasa sedikit canggung. "Gue cuma bingung, Jen. Gue sayang sama Hesa, tapi juga ngerasa kayak nggak dihargain. Kadang gue ngerasa... apa gue harus pilih dia, atau justru... ya, sama lo?"
Jeno menatapnya dengan tatapan serius namun hangat. "Gue nggak mau bikin lo bingung, Rin. Gue cuma mau lo bahagia. Kalau lo butuh waktu untuk mikirin semuanya, gue akan ada di sini."
Mendengar kata-kata itu, Karina merasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ada sesuatu dalam diri Jeno yang membuatnya merasa dihargai, tapi di sisi lain, perasaannya terhadap Hesa masih ada, meski ia merasa kecewa. Karina tahu bahwa keputusan ini bukan hal yang mudah. Namun, yang pasti, ia perlu waktu untuk benar-benar mendengarkan hati nuraninya, dan malam ini, Jeno telah memberikan ruang itu untuknya.
Di balik kebingungannya, Karina mulai merasakan bahwa mungkin sudah saatnya dia membuat pilihan. Entah itu untuk tetap berjuang bersama Hesa, atau untuk membuka hatinya pada sosok baru yang membuatnya merasa lebih hidup.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.