Karina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya.
Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari itu dimulai seperti hari biasa—kuliah, pertemuan, dan rutinitas yang mulai terasa lebih ringan bagi Karina. Sejak obrolannya dengan Jeno beberapa hari yang lalu, Karina merasa sedikit lebih tenang. Perasaannya masih bingung, namun Jeno selalu ada dengan senyum hangat dan kata-kata yang menenangkan.
Di sisi lain, Hesa—mantan pacarnya—masih menghantui pikiran Karina. Ia merasa, meskipun sudah putus, ada banyak hal yang belum ia pahami tentang hubungan mereka, terutama yang berhubungan dengan alasan kenapa semuanya berakhir.
Karina berjalan keluar dari kampus, matahari yang bersinar cukup terik membuatnya menepi di halte bus untuk menunggu transportasi. Ia mengeluarkan ponselnya, mengecek pesan-pesan yang masuk, sambil menunggu angkutan datang. Namun, saat matanya teralih dari layar, sesuatu yang tak terduga membuat nafasnya berhenti sesaat.
Di seberang jalan, tepat di depan gerbang kampus, Karina melihat sosok yang dikenalnya—Hesa. Namun, yang membuat hatinya nyeri adalah keberadaannya bersama Yuna, teman kampus mereka. Yuna adalah teman dekat Hesa yang selama ini tampaknya sangat baik dengan Karina, namun tak pernah terlalu dekat. Tetapi melihat mereka berdua di atas motor, dengan Hesa membonceng Yuna, dan Yuna yang memeluk erat pinggang Hesa. Seakan-akan ada sesuatu yang patah di dalam hati Karina.
Hesa tersenyum lebar pada Yuna, bercakap-cakap dengan santai seolah tidak ada yang aneh. Karina bisa melihat jelas senyum Yuna yang ceria, tak kalah dengan Hesa yang terlihat bahagia. Itu sangat kontras dengan perasaan yang membekas di hati Karina. Rasa kecewa, sakit hati, dan bingung bercampur aduk. Bagaimana bisa Hesa bersikap seperti itu setelah semua yang mereka jalani bersama?
Dengan cepat, Karina membalikkan tubuh dan berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Dia menundukkan kepala, mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya yang mulai goyah. Jantungnya berdebar keras, seolah dunia terasa berputar begitu cepat. Semua perasaan yang coba ia pendam dalam beberapa hari terakhir seperti kembali menggerogoti hati. Bukankah Hesa baru saja bilang bahwa dia sedang sibuk dengan band-nya? Bukankah dia janji akan lebih sering meluangkan waktu untuk Karina?
"Kenapa dia bisa se-santai itu?" gumam Karina pelan. "Kenapa aku nggak tahu apa-apa tentang ini?"
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Karina terkejut melihat nama Jeno tertera di layar. Dengan tangan yang gemetar, ia menjawab panggilan itu. Suaranya terdengar tidak stabil saat ia menyapa. "Halo, Jeno."
"Rin, lo kenapa?" Jeno langsung menyadari ada yang tidak beres dengan suara Karina. "Lo lagi di mana? Kenapa suara lo beda?"
Karina mencoba tersenyum meskipun hatinya hancur. "Gue... gue lagi di luar. Nggak apa-apa, Jeno. Cuma lagi capek aja."
"Tapi gue bisa denger lo kayaknya nggak baik-baik aja," jawab Jeno, nada suaranya terdengar khawatir. "Lo perlu ngobrol? Gue temenin ya,"
Karina menatap jalanan, mencoba menenangkan diri. Keinginannya untuk bercerita langsung pada Jeno begitu kuat, tetapi ia juga merasa takut kalau itu akan membuat semuanya jadi semakin rumit. "Gue... nggak tahu. Gue baru aja liat sesuatu yang bikin gue kecewa. Kayaknya gue butuh waktu dulu."
Jeno diam sejenak di seberang sana, seakan memahami. "Rin, lo nggak perlu sendiri. Kapan pun lo butuh gue, lo bisa hubungin gue. Jangan ragu."
Karina mengangguk meskipun Jeno tidak bisa melihatnya. "Makasih, Jeno. Lo bener-bener ngerti gue."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah beberapa saat berbicara ringan, Karina memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya. Namun, bayangan Hesa yang bermesraan bersama Yuna tetap menghantui pikirannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat. Karina merasa dunia tiba-tiba semakin terasa sunyi.
Sesampainya di rumah, Karina duduk di depan meja belajarnya, matanya kosong menatap layar ponsel. Beberapa pesan masuk dari teman-temannya, termasuk Winona yang menanyakan kabarnya. Karina tak merasa ingin membalas, dia terlalu terlarut dalam pikirannya. Setiap kali dia mencoba menenangkan hatinya, bayangan Hesa dan Yuna datang menghampiri, mengingatkan betapa mudahnya Hesa melupakan semua yang pernah mereka miliki. Atau sejak awal, memang ada pengkhianatan dibelakangnya?.
Tapi entah kenapa, meskipun hatinya begitu sakit, Karina tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tak bisa terus-terusan membiarkan perasaan ini merusak dirinya. Jeno, yang selama ini selalu ada dengan sabar, memberikan sedikit ketenangan di saat dia merasa kehilangan. Mungkin sekarang saatnya untuk berbicara lebih jujur dengan dirinya sendiri—tentang apa yang sebenarnya ia inginkan, tentang siapa yang pantas ada di sisinya.
Sambil berbaring di tempat tidur, Karina menatap langit malam lewat jendela. Pikirannya melayang, mencoba menemukan jawaban untuk pertanyaan yang terus mengganggu hatinya. Apakah Hesa masih pantas untuknya? Ataukah Jeno, yang telah memberinya harapan baru, bisa menjadi orang yang lebih baik untuk menemaninya melewati semuanya?
Namun, malam itu, satu hal yang pasti: Karina tidak akan lagi membiarkan diri disakiti begitu saja. Tidak lagi oleh siapa pun.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.