Keluarga Cicak

3.2K 175 14
                                    

Entah sudah berapa hari aku terkurung di rumah Bik Sukhanti ini, mungkin sudah ada dua atau tiga hari. Rumah ini menjadi aneh karena tak lagi ku dapati pintu dan jendela. Aku terjebak di sini, tak bisa keluar, terkurung berhari-hari. Menahan kengerian dan rasa jijik.

Aku tidaklah sendirian, bersama ratusan, oh bahkan ribuan cicak di rumah yang gulita ini.

Cicak-cicak berlompatan ke arahku.

Rasa jijikku terkuras habis. Otak lelah, keringat dan air mata kering. Aku merinding sepanjang waktu, tiada sekejap pun duduk tenang.

Ckckckckckckckkckckckckckckc! Ckckckckckckckkckckckckckckc!

Suara cicak tak mau diam.

"Tolooooooonggg ... Hiiiyyy ...Tolooooongg ... Hiiiyyy..."

Teriakanku menggema, bercampur rasa jijik dikelilingi ribuan cicak. Apa salah dan dosaku, mengapa sampai terjebak di sini? Bagaimana caranya agar bisa keluar? Rumah kosong ini berubah jadi tak punya celah bagai penjara bawah tanah.

"Bapaaaaaakkk ... !Bapaaakkk .... !" kupanggil-panggil Bapakku, pilu hati membayangkan Bapak cemas dan bingung mencariku, rasanya sia-sia sudah ku menjerit-jerit.

Tangisan pilu dari teriakan menjadi rintihan. Suaraku habis, tenagaku apalagi aku diserang rasa lapar.

Terjebak di rumah Bik Sukhanti yang gelap gulita bersama ribuan cicak.

Puluhan kali kuraba-raba di depan, belakang dan sampingku, mengitari dinding rumah demi mencari pintu, saklar, atau jendela, tapi tak ada yang kutemukan. Hanya dinding dan cicak-cicak lembek yang bisa ku raba. Sepertinya aku sudah terjebak di alam gaib.

Cicak-cicak terkejut ku pegang, berlompatan lalu merayap di badan. Awalnya aku meronta tapi kini lelah. Hanya bisa duduk meringkuk menjauhi dinding agar tak bersentuhan dengan mereka.

Tapi semakin lama, ku biarkan saja pasrah binatang reptil itu merayap di tubuhku, bahkan aku sekarang tetap bergeming saat ada yang menyelusup ke balik kemejaku.

Makin lama otakku mulai kebas, aku tau kalau aku tak berusaha tetap sadar. Pikiranku akan hilang.

Bagaimana ini, sedikit lagi nasibku akan sama seperti keluarga Sukhanti.

Majnun.

*****
Kisahku bermula pada saat itu, ...

Hari sudah larut, aku baru turun dari angkot terakhir sengaja berhenti di jalan potong menuju rumah. Lorong, panjangnya 100 meter dengan ukuran lebar satu meter. Selain gelap, gang sempit itu juga becek dan bau.

Tak ada yang mau lewat di situ karena satu dan lain hal, meskipun kenyataannya gang sempit itu adalah lorong terpintas ke jalan Melati, rumahku.

Satu dan lain hal yang dimaksud adalah, karena di lorong sempit itu ada rumah keluarga Sukanthi. Rumah itu terletak di belakang gudang pabrik sirup yang sekarang akan ku lewati. Di sisi kanannya juga tembok tinggi milik pengusaha tiongkok yang dipagari sekeliling bangunan, tak ada yang tau usaha apa yang ada di dalamnya, hanya setiap hari ada truk yang keluar masuk dari arah depan tempat ku turun tadi.

Berdebar, siapapun pasti akan berdebar jika melewati lorong rumah keluarga Sukanthi, hanya karena ini sudah larut dan takut Bapak menunggu lama. Ku coba nekat.

"Semoga keluarga Sukhanti sudah tidur semua" doaku dalam hati.

Berjalan cepat-cepat jarak 100 meter terasa panjang. Meski becek ku terabas saja tanah yang lembek. Dan ketika kaki mulai melewati batas teras sempit rumah itu, aku terkesiap.

Bang Yoyok anak ketiga keluarga Sukhanti sedang jongkok di teras sambil memegang karet gelang. Aku mendadak berhenti, aku takut membuatnya terkejut. Jarak kami 5 meter, dari samping kulihat tangan Bang Yoyok dipenuhi karet gelang. Dia sedang membidik cicak-cicak di dinding rumahnya.

Kumpulan CerPen Ciayo IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang